Remaja Indonesia Perlu Cara Agar Paham Kesehatan Mental

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Pinterest

Lebih dari sepertiga remaja di dunia mengalami masalah kesehatan jiwa dalam kehidupannya, dalam bentuk yang bermacam-macam, misalnya depresi, cemas, gangguan makan. Masalah kesehatan jiwa yang dialami remaja tentu menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan sekolah. Remaja yang mengalami masalah kesehatan jiwanya juga dapat mengalami persoalan dalam hal prestasi akademik.

Di sisi lain, tidak banyak remaja yang mengenali bahwa dirinya mengalami persoalan psikologis. Banyak pula yang tidak memahami bahwa perubahan prestasi sekolah mereka terkait dengan kondisi psikologis dan emosi yang menyebabkan kemampuan belajar terganggu. Jika pun remaja mengenali bahwa ada yang kurang tepat pada dirinya, belum tentu mereka berani mencari pertolongan atau tahu kemana harus mengadu atau mencari pertolongan. Remaja juga khawatir dirinya mendapat cap dan cemoohan dari orang-orang di sekitarnya jika ketahuan mereka memiliki persoalan.

Agar remaja memiliki pemahaman mengenai kesehatan mental dirinya dan dapat melakukan tindakan yang sesuai untuk membantu dirinya, maka mereka perlu memiliki pengetahuan yang cukup. Pengetahuan tentang kesehatan mental dikenal dengan literasi kesehatan mental (mental health literacy), yaitu pehaman mengenai kondisi psikologis diri dan orang di sekitarnya, serta pemahaman mengenai tindak lanjut yang perlu dilakukan ketika seseorang mengalami persoalan kesehatan mental.

Laporan dari berbagai negara menunjukkan bahwa di negara maju berbagai program untuk remaja yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman mereka akan kondisi kesehatan mental telah banyak dikembangkan secara terencana. Kurikulum tentang kesehatan mental remaja telah diberikan di sekolah menengah dan disampaikan tidak hanya kepada siswa dan guru tetapi juga orangtua. Program yang digagas misalnya strategi untuk mengurangi stigma atau penilaian negative, pengenalan kesehatan mental sebagai  bidang ilmu, serta upaya untuk memperkuat kesehatan dan kesejahteraan mental siswa. Program sejenis juga telah banyak menggunakan teknologi sehingga mampu menjangkau sasaran lebih luas.  

Sebaliknya di negara berkembang, program dikembangkan di luar kurikulum dan dikembangkan secara sendiri-sendiri bersama dengan pengampu kepentingan terkait. Di negara-negara ini, program-program yang tersedia bersifat pengenalan awal informasi tentang kesehatan mental. Perhatian tentang literasi kesehatan mental memang belum memadai di negara-negara berkembang, termasuk pada tingkat pelajar. Namun demikian, progam yang tersedia juga telah melibatkan pemerintah pusat dan daerah, sekolah, dan pelajar dan orangtua. Diperlukan strategi pada berbagai tingkat untuk meningkatkan perhatian dan program di bidang ini.

Beberapa contoh kegiatan yang dapat diaplikasikan di Indonesia misalnya membuat call center untuk layanan kesehatan mental di berbagai institusi termasuk rumah sakit, melakukan workshop secara rutin kepada berbagai kelompok kepentingan, dukungan pada penelitian, dan kerjasama lintas sector yang mengarah pada gerakan anti-stigma. Di tingkat masyarakat, remaja dapat dilibatkan sebagai agen perubaha, gerakan kampanye kesehatan mental melalui internet, game, film, dan kelompok dukungan sebaya. Perguruan tinggi juga dapat berperan dalam membangun agensi untuk layanan kesehatan mental dan gerakan anti stigma, melakukan pendampingan ke sekolah-sekolah dan promosi kesehatan melalui berbagai bentuk seperti music, video, komik, dll.

Tidak hanya di Indonesia yang mulai menyertakan keterlibatan pemangku kepentingan local, berbagai negara regional mengembangkan program berbasis keluarga. Kesadaran ini didukung oleh organisasi kesehatan dunia WHO dengan membuka kesadaran berbagai negara bahwa kesehatan mental di usia remaja berpengaruh terhadap perekonomian di masa mendatang. Oleh karena itu perlu ada kebijakan berskala nasional dan kerjasama lintas sector terkait topik atau kondisi ini, untuk berbagai kelompok usia utamanya remaja. Keterlibatan guru termasuk Guru Bimbingan dan Konseling menjadi salah satu prioritas, karena sekolah menjadi salah satu factor protektif untuk membangun kesehatan dan kesejahteraan generasi muda.

Penulis: Endang Retno Surjaningrum

Link Jurnal: https://ijphs.iaescore.com/index.php/IJPHS/article/view/20364

Sumber:

Yulianti, P.D., Surjaningrum, E.R. (2021) A review of mental health literacy strategy for adolescence. International Journal of Public Health Science (IJPHS), Vol. 10, No. 4, pp. 764-770 DOI: 10.11591/ijphs.v10i4.20364

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp