Mikroalgae sebagai Alternatif Pengolahan Waduk/Bozzem dengan Proses Fitoremediasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh getlost.id

Di Surabaya, waduk atau bozzem merupakan danau buatan dengan luas puluhan hektar dan berfungsi untuk menampung air hujan dan membendung sungai. Air yang ditampung dimanfaatkan sebagai pasokan air bersih, irigasi, perikanan komersial, rekreasi, akuakultur, dan sebagai pengendalian banjir. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa bozzem mengalami penurunan kualitas air. Penurunan kualitas air pada bozzem dapat disebabkan karena bozzem menampung air yang berasal dari daerah tangkapan air (DTA) dan daerah aliran sungai (DAS) yang mengandung bahan organik sehingga dapat menyebabkan terbentuknya endapan di dasar waduk, air berubah menjadi keruh dan bau, serta berpotensi menyebabkan eutrofikasi. Sumber pencemaran waduk atau bozzem dapat berasal dari limbah industri, limbah domestik, serta kegiatan masyarakat seperti pertanian, peternakan, dll. Bahan organik yang masuk ke dalam bozzem akan terurai menjadi nitrogen dan fosfor. Sebagian besar nitrogen dalam perairan berbentuk gas dan sebagian kecil dalam bentuk ammonia (NH3), ammonium (NH4+), nitrat (NO3+), nitrit (NO2+), dan urea [CO(NH2)2], sedangkan fosfor dalam suatu perairan hadir dalam bentuk senyawa anorganik terlarut (orthophospat dan poliphospat). Bahan organik dengan konsentrasi yang tinggi memerlukan oksigen yang tinggi untuk menguraikannya, sehingga hal ini dapat memengaruhi kehidupan biota yang ada di bozzem.

Pengolahan fosfat dan nitrogen dapat dilakukan dengan metode kimia, fisika, dan biologi. Salah satu metode biologi yang dapat digunakan untuk menurunkan kadar fosfat dan nitrogen dalam suatu perairan adalah fitoremediasi. Pemanfaatan tumbuhan untuk mendekontaminasi bahan pencemar secara ex-situ (menggunakan reaktor) atau secara in-situ (langsung pada tanah yang terkontaminasi) disebut juga fitoremediasi. Mekanisme fitoremediasi adalah, fitoekstraksi, fitodegradasi, rhizofiltrasi, fitostabilisasi, dan fitovolatilisasi. Pemilihan tumbuhan yang digunakan untuk proses fitoremediasi perlu memperhatikan kemampuan tumbuhan untuk bertahan dalam kondisi beban organik yang tinggi, toleransi terhadap bahan pencemar, dan memiliki sistem perakaran yang lebat sebagai tempat tumbuh dan melekatnya mikroorganisme. Jenis tanaman yang umumnya digunakan untuk fitoremediasi adalah kayu apu (Pistia stratiotes), eceng gondok (Eichhornia crassipes), dan melati air (Echinodorus palaefolius) selain itu, mikroalga juga dapat digunakan untuk proses fitoremediasi.

Mikroalga merupakan tumbuhan berukuran mikroskopik dengan diameter 3-30 µm, termasuk ke dalam kelas algae dan hidup sebagai sel tunggal atau sebagai koloni di air tawar atau air laut. Morfologi berbentuk uniseluler atau multiseluler. Klasifikasi mikroalga dibedakan menjadi empat, yaitu diatom (Bacillariophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae), dan alga biru (Cyanophyceae). Alga membutuhkan bahan organik seperti Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD), dan nutrient seperti Nitrogen (N), Kalium (K), Fosfor (P), dan Karbon (C). Mikroalga dalam mendegradasi bahan pencemar, memanfaatkan bahan pencemar sebagai sumber nutrisinya dan melakukan simbiosis dengan mikroorganisme lainnya untuk mendegradasi bahan pencemar.

Penelitian mengenai kemampuan mikroalga untuk menyisihkan polutan dilakukan menggunakan air dari bozzem Kalidami Surabaya. Peneliti menggunakan Scenedesmus sp. yang didapatkan dari sebuah kolam di desa Bulusidokare, Sidoarjo. Mikroalga kemudian dipindahkan ke reaktor plastik berukuran 25L yang diletakkan di green house, terkena sinar matahari langsung, dilakukan aerasi mengunakan aerator RC410, dan diberi pupuk NPK. Fitoremediasi air bozzem dilakukan secara batch menggunakan gelas kaca berukuran 8L dan diaerasi menggunakan aerator RC410. Perbandingan yang digunakan untuk air bozzem dan alga adalah 1:8. Variabel pada penelitian ini meliputi penambahan KH2PO4 + K2HPO4 sebagai unsur K dengan konsentrasi 0%, 1%, dan 3% dari total K pada Bold’s Basal Medium (BBM) dan dilakukan penambahan sukrosa sebagai unsur C dengan konsentrasi 0mg/L dan 29,4 mg/L. Reaktor control hanya berisi air bozzem tanpa tambahan alga, Kalium, dan Karbon. Analisis DO dan klorofil dilakukan pada ke- 0, 3, 6, 9, 11, 13, 16, dan 18. Analisis klorofil dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer Thermo Scientific Genesys 20.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi DO tertinggi diperoleh pada reaktor 3KC, yaitu pada reaktor yang ditambahkan K 3% dan sukrosa 29,4 mg/L, pada hari ke-9 sebesar 7,70±0,14 mg/L. Terjadi peningkatan sebesar 106%. Penambahan Kalium mempengaruhi konsentrasi DO karena Kalium (K) berfungsi sebagai aktivator enzim selama fotosintesis, respirasi, serta sintesis karbohidrat dan protein. Penambahan Karbon (C) juga mempengaruhi konsentrasi DO karena unsur C merupakan sumber energi dan co-substrat untuk mikroalga dan pertumbuhan bakteri. Konsentrasi klorofil-a tertinggi sebesar 8,88±0,12 mg/L dicapai pada hari ke-6 pada reaktor 3KC, yaitu penambahan 3% K dan C. Konsentrasi meningkat sebesar 95,6%. Penambahan unsur K berdampak pada konsentrasi klorofil. Hal ini terjadi karena penambahan garam KH2PO4 + K2HPO4 memenuhi unsur hara K dan P H2O4 K2O4 yang dibutuhkan untuk pertumbuhan alga. K merupakan unsur hara makro yang berfungsi sebagai koenzim selama fotosintesis dan respirasi. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan Kalium (K) dan Karbon (C) mempengaruhi konsentrasi DO dan klorofil.

Penulis:Nur Indradewi Oktavitri

Tulisan detail terkait artikel ini dapat dilihat dalam publikasi kami di

http://www.envirobiotechjournals.com/article_abstract.php?aid=11077&iid=323&jid=4

RHENNY RATNAWATI, INDAH NURHAYATI, NARESWARA TITIS AND NUR INDRADEWI OKTAVITRI. 2020

KALIDAMI RETENTION PONDS PHYTOREMEDIATION WITH NUTRIENT ADDITION FROM SCENEDESMUS SP: A MICROLAGAE

Pollution research paper Vol. 39, Issue 4, 2020; Page No (1042-1046)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp