Darurat Kekerasan Seksual di Kampus, Ini Selayang Pandang Pakar dan Mahasiswa FH UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Mahasiswa FH UNAIR angkatan 2019 Apriska Widiangela saat akan membuka sesi materinya dalam webinar LPM Situs FIB UNAIR. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – LPM Situs FIB UNAIR mengadakan diskusi membahas terkait problematika kekerasan seksual di kampus yang masih menjadi topik perembukan yang hangat pada Sabtu pagi (23/10/2021). Kursi narasumber diisi dari dua elemen sivitas akademika FH UNAIR. Dari elemen dosen, ada Pakar Hukum dan Gender Dwi Rahayu Kristianti, S.H., M.A., sementara dari elemen mahasiswa hadir Koordinator Aliansi Kampus Darurat Kekerasan Seksual (KDKS) UNAIR Apriska Widiangela.

Yeyen, sapaan karib sang pakar, menekankan bahwa kekerasan seksual di kampus merupakan problem yang sangat nyata. Bahkan ia sendiri juga pernah menjadi korban selama ia mengajar di FH UNAIR, dimana pelaku kerap menguntitnya dan memburu data pribadinya. Yeyen menjelaskan bahwa korban atau penyintas dari kekerasan seksual di kampus memiliki relasi kuasa yang lebih rendah dengan pelaku, contoh lumrahnya adalah mahasiswa dilecehkan oleh dosen. Inilah yang menjadi alasan mengapa korban acapkali enggan atau takut angkat bicara

“Respon yang seringkali didapat terkait masalah ini adalah korban harus lebih berhati-hati dan waspada terhadap kekerasan seksual. Logika ini terbalik. Kenapa korban yang harus hati-hati, kenapa tidak pelaku yang dilarang melakukan kekerasan seksual?” ujar alumni Flinders University itu.

Hal ini kembali diperparah oleh sistem hukum Indonesia yang masih minim perspektif korban. Yeyen mencatatkan bahwa KUHP yang dari masa kolonial hanya mengakui jenis-jenis kekerasan seksual secara terbatas dan mendegradasi kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan. Upaya lex specialis yakni RUU PKS juga masih mangkrak di DPR hingga saat ini.

Angel, sapaan akrab si mahasiswi, mengatakan bahwa tak dapat dibendungnya problematika kekerasan seksual di kampus adalah nihilnya regulasi universitas yang mengaturnya secara ketat dan berperspektif korban. Melansir data dari tirto.id, Angel mengatakan bahwa terdapat sekitar 174 kasus kekerasan seksual di kampus yang tersebar di 79 perguruan tinggi. 

“Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa satu korban sudah terlalu banyak. Karena rintangan seperti victim blaming dan relasi kuasa, korban seringkali takut atau bingung harus melapor kemana. Disinilah hadir aliansi KDKS untuk menyerap aspirasi publik sebanyak-banyaknya terkait problematika ini,” ujar Koordinator Komite PAKG Amnesty UNAIR itu.

Menurut Angel, disinilah mahasiswa dan organisasi-organisasinya harus berperan aktif nan progresif sebagai agent of change. Agen-agen untuk mendorong perubahan berbagai macam kekolotan paradigma dan sistem hukum untuk melawan kekerasan seksual di kampus. Ia juga menekankan bahwa aliansi KDKS memiliki tujuan akhir untuk mendorong Rektorat UNAIR agar segera memformulasi dan mengesahkan regulasi terkait kekerasan seksual di UNAIR.

“KDKS ini bukan sekadar koar-koar di sosial media. Aliansi ini bergerak dengan landasan ilmiah seperti survei, kajian ilmiah, dan juga FGD,” tutup mahasiswi angkatan 2019 itu.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp