Risiko Penularan Sparganosis pada Manusia Akibat Konsumsi Produk Kuliner Biawak Air

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: kompascom

Cacing pita dari genus Spirometra telah diakui sebagai parasit yang tidak hanya menginfeksi hewan mamalia domestik (anjing dan kucing) tetapi juga berbagai spesies hewan liar (reptil dan amfibi), dengan persebaran yang ditemukan di seluruh dunia. Larva plerocercoid, yang umumnya dikenal sebagai spargana, merupakan stadium infektif dan dapat menginfeksi manusia sehingga menyebabkan penyakit parasitik yang disebut sparganosis. Meskipun sebagian besar kasus manusia dikategorikan jarang terjadi, sparganosis tetap tercatat endemik di banyak negara, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Siklus hidup cacing pita Spirometra membutuhkan dua inang perantara yang berbeda di dalam kondisi alami. Inang perantara pertama adalah copepoda air tawar, sedangkan amfibi, reptil, burung, dan mamalia berperan sebagai inang perantara kedua. Manusia, sebagai inang paratenik untuk Spirometra, dapat terinfeksi oleh parasit melalui tiga cara. Rute pertama adalah konsumsi produk hewan liar yang terinfeksi seperti daging ular mentah dan katak yang mengandung spargana. Kedua, copepoda yang terinfeksi tertelan dari air minum yang terkontaminasi, dan ketiga dengan menempelkan daging atau kulit katak yang terinfeksi ke luka atau pemanfaatan sebagai obat tradisional, yang dapat meningkatkan risiko migrasi spargana ke berbagai organ visceral, termasuk jaringan subkutan, menyebabkan nodul atau pembengkakan. Selain itu, berdasarkan kompleksitas siklus hidup parasit, sparganosis juga dikategorikan sebagai penyakit zoonosis yang dapat ditularkan melalui makanan dan air (food and water-borne disease).

Prevalensi sparganosis yang tinggi telah tercatat sebelumnya dilaporkan di Provinsi Guangdong, Tiongkok, dimana mayoritas masyarakat setempat mengonsumsi daging mentah dari ular yang ditangkap secara liar. Apalagi daging reptil di beberapa negara di Asia juga dianggap popular, dan dianggap sebagai kuliner tradisional yang memiliki cita rasa yang enak, menjadi alasan utama restoran lokal menyediakan ular yang ditangkap di alam liar atau reptil lainnya sebagai menu utama. Sebagian orang menikmati makan daging, kulit, dan kulit setengah matang atau bahkan sepenuhnya mentah dari produk reptil yang ditangkap secara liar, tanpa mempertimbangkan risiko tinggi infeksi oleh parasit Spirometra. Reptil dan amfibi, sebagai inang perantara kedua untuk cacing pita Spirometra, sudah terbukti menjadi sumber penting untuk penularan sparganosis, serta potensi zoonosis yang ditimbulkan terhadap kesehatan masyarakat. Di Indonesia, kasus serupa mengenai tingginya prevalensi sparganosis telah dicatat dari hewan liar setempat, terutama ular, seperti Ptyas mucosus, Dendrelaphis pictus, dan Naja sputatrix, berkontribusi dengan total prevalensi masing-masing tercatat 68%, 50,85%, dan 56,7%. Kasus sparganosis juga pernah tercatat dari daging katak liar (Rana rugulosa) yang dijual di beberapa restoran lokal di Provinsi Jawa Timur dengan angka prevalensi 9,1%. Menariknya, ular jali (P. mucosus) dan ular kobra (N. sputatrix) merupakan ular liar yang paling umum ditangkap dan dimanfaatkan sebagai produk kuliner masyarakat di Indonesia, sedangkan spesies reptile lain, seperti Varanus salvator yang umumnya dikenal sebagai biawak air, atau dengan nama lokal “nyambek” juga seringkali tersedia sebagai makanan sehari-hari dengan perdagangan yang luas.

Oleh karena itu, penelitian yang kami lakukan ini bertujuan untuk menyelidiki terjadinya sparganosis pada biawak air, yang umumnya dijual dan dimanfaatkan untuk keperluan kuliner di beberapa wilayah di Jawa Timur. Sepanjang pengetahuan kami, belum ada studi ilmiah yang komprehensif tentang sparganosis di biawak air yang merupakan satwa liar asli dari Indonesia. Sehingga, hasil penelitian yang kami kerjakan dapat berkontribusi untuk mengidentifikasi sumber infeksi sparganosis. Selain itu, juga menyediakan implikasi penting untuk memperkuat program yang tepat terkait dengan pencegahan sparganosis, yang sampai saat ini merupakan penyakit dalam kategori zoonosis yang terabaikan di Indonesia.

Metode dan Hasil Penelitian

Total 313 sampel biawak air hidup hasil tangkapan liar dan penangkaran dikoleksi dari berbagai pengepul dan breeder reptil di Jawa Timur. Lokasi pengambilan sampel untuk penelitian adalah dipilih berdasarkan tren penjualan biawak air seperti di Kota Mojokerto, Kota Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Banyuwangi. Biawak air (V. salvator) diidentifikasi berdasarkan ciri morfologinya, khususnya pola warna pada sisi punggung dan perut. Bagian kepala dan leher memiliki pola warna gelap melintang di bagian moncong dan garis temporal di belakang mata. Uji etik dilakukan untuk memastikan prosedur nekropsi dan bedah saluran pencernaan yang dilakukan telah sesuai dengan kesejahteraan hewan, dan sertifikasi uji etik telah didapatkan dari komisi etik hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (No.1.KE.006.01.2020). Biawak air yang telah dikoleksi selanjutnya diperiksa untuk tanda-tanda klinis sparganosis seperti nodul subkutan dan reaksi nyeri selama dilakukan palpasi pada beberapa bagian tubuh. Setelah dilakukan konfirmasi gejala klinis maka biawak air dieutanasia dengan teknik penyembelihan. Setelah itu dilakukan proses pemisahan kulit dari daging, visceral dan jaringan subkutan. Pengamatan bagian demi bagian dilakukan dengan mata telanjang untuk mendeteksi stadium plerocercoids (spargana). Jika ditemukan spargana pada bagian tertentu maka dengan hati-hati diambil dengan menggunakan pinset anatomis dan ditempatkan dalam larutan garam fisiologis untuk membersihkan sisa kotoran dan mengamati reflek gerakan parasit. Kemudian, jumlah spargana yang ditemukan dari biawak air dicatat untuk menghitung tingkat prevalensi dan intensitas infeksi. Konfirmasi stadium plerocercoid Spirometra spp. dilakukan dengan pewarnaan carmine dan pengamatan mikroskop pada bagian scolex dan proglottid dengan perbesaran 100x.

Kejadian sparganosis tercatat dari 313 biawak air, dan prevalensi totalnya adalah sebesar 69,64% dari total sampel yang diperiksa selama penelitian ini. Prevalensi sparganosis pada sampel biawak air tangkapan liar dan penangkaran adalah didominasi oleh kelompok usia dewasa dan tercatat prevalensinya sebesar 93,3% dan 45,4%, pada masing-masing kategori. Sebanyak 393 plerocercoids (spargana) berhasil dikoleksi dari bagian daging dan jaringan subkutan selama proses penelitian. Lebih dari setengah plerocercoids, sebagai larva infektif parasit Spirometra, mempunyai predileksi di jaringan atau daging biawak air dengan total 280 (71,24%) plerocercoids. Sementara itu, 113 (28,75%) plerocercoids ditemukan di jaringan subkutan. Prevalensi dan intensitas infeksi sparganosis berbeda menurut umur dan lokasi sampel biawak air. Sampel yang berasal dari tangkapan liar memiliki prevalensi dan intensitas infeksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel biawak air penangkaran. Selain itu, biawak air tangkapan liar di kelompok umur dewasa memiliki prevalensi sparganosis tertinggi (93,3%) jika dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Tingkat prevalensi 45,9% dan 79% masing-masing tercatat pada kelompok umur hatchling dan juvenile. Selanjutnya, tingkat prevalensi yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel tangkapan liar (45,4%) tercatat pada biawak air penangkaran dalam kelompok umur dewasa. Sedangkan pada kelompok umur umur hatchling dan juvenile masing-masing memiliki tingkat prevalensi 33,3% dan 40%. Selain itu, plerocercoids secara makroskopik diidentifikasi dengan bentukan pipih, tipis, dan berwarna putih dengan struktur seperti pita. Selanjutnya, plerocercoid sering ditemukan berkelompok di hampir semua bagian daging dan jaringan subkutan sampel biawak air. Semua stadium plerocercoid yang dikumpulkan selama penelitian ini memiliki panjang rata-rata 14 cm dan rata-rata lebar 0,4 cm. Pemeriksaan mikroskopis menggunakan metode pewarnaan carmine menunjukkan bahwa plerocercoids memiliki tubuh yang tersegmentasi dan bentuk lekukan seperti mulut pada bagian ujung anterior. Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis, dapat dikonfirmasi bahwa plerocercoid yang dikoleksi pada penelitian ini adalah stadium infektif parasit cacing pita Spirometra atau biasa disebut sebagai spargana.

Karena tingginya angka prevalensi kejadian sparganosis yang terdeteksi, maka konsumsi reptil menimbulkan risiko besar bagi manusia, dikarenakan reptil dan manusia sama-sama bertindak sebagai inang perantara untuk spargana dan berpotensi terhadap penyebaran penyakit secara meluas. Daging biawak air yang juga merupakan spesies kadal monitor bertubuh besar di wilayah Asia Selatan dan Tenggara, sering dikonsumsi namun di Indonesia bukan sebagai sumber protein utama yang paling digemari masyarakat. Akan tetapi, menurut De Lisle (2007) ada beberapa etnis lokal yang terbiasa mengonsumsi daging biawak air, seperti suku Batak di Sumatra Utara, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Minahasa di Sulawesi Utara, yang sampai saat menganggap daging biawak berkhasiat untuk penambah stamina dan lezat jika diolah menjadi bahan kuliner. Selain itu, ada penelitian dari Uyeda et al., (2012) yang juga melaporkan bahwa konsumsi daging biawak di dua desa di pesisir barat daya Pulau Jawadianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai pengobatan tradisional yang paling mujarab dan ekonomis untuk mengatasi berbagai masalah penyakit kulit seperti gatal, ruam, dan alergi.

Hasil penelitian sparganosis pada biawak air ini merupakan laporan pertama yang terpublikasi pada spesies reptile selain ular yang ada di Indonesia dengan angka prevalensi yang tergolong tinggi. Biawak air tangkapan liar tercatat memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan biawak hasil penangkaran, yang kemungkinan besar terkait dengan lingkungan alaminya dan ketersediaan mangsa hidup. Dalam rantai makanan satwa liar, biawak air di alam liar sering memakan mangsa yang rentan terhadap infeksi spargana, seperti katak, ikan, ular, atau kadal yang lebih kecil. Sebaliknya, biawak air pada penangkaran umumnya diberikan perawatan kesehatan yang tepat oleh pemiliknya, dan sebagian besar pemiliknya menggunakan mangsa hidup dengan kondisi sehat dari peternakan khusus, seperti tikus dan ayam, untuk mengurangi risiko terinfeksi oleh spargana. Pada akhirnya, perlu untuk meningkatkan kesadaran kita dan hentikan kebiasaan kuliner yang berhubungan dengan daging maupun produk hewan liar. Sebagian besar restoran lokal menyediakan reptil, seperti ular atau biawak air tangkapan liar, sebagai produk kuliner sehingga berpotensi meningkatkan risiko tertular sparganosis. Pemerintah setempat harus mendukung dan memperkuat inspeksi keamanan pangan pada restoran maupun warung-warung yang menyediakan daging biawak air sebagai hidangan utama. Solusinya adalah tetap menjual produk pangan asal hewan dari sumber yang jelas sehat seperti peternakan atau benar-benar berhenti menawarkan reptil sebagai produk kuliner untuk mencegah penularan sparganosis dari hewan ke manusia.

Berdasarkan hasil penelitian ini, kami menyimpulkan bahwa beberapa restoran atau warung-warung lokal yang menjual reptil sebagai produk kuliner memiliki potensi sebagai sumber transmisi sparganosis. Meskipun jumlah keseluruhan rumah makjan yang menyajikan daging biawak di ndonesia lebih kecil daripada negara-negara Asia lainnya, namun tetap saja menjadi faktor risiko yang dapat mengakibatkan kasus infeksi sparganosis. Basis data studi epidemiologi, seperti yang telah dilakukan seperti mencatat tingkat prevalensi, harus lebih diperkaya lagi supaya tindakan deteksi awal menjadi lebih akurat, tidak hanya terbatas pada reptil sebagai inang perantara tetapi juga pada manusia Selain itu, reptil tangkapan liar telah diketahui menjadi penyebab utama dalam kasus infeksi sparganosis dengan angka kejadian yang tinggi, sehingga pemerintah daerah harus melakukan upaya pengendalian perdagangan satwa liar secara efektif. Bentuk pengendalian penyakit bisa berupa edukasi pada para pengepul dan konsumen satwa liar, serta mengadakan program kerjasama dengan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesadaran tentang potensi sparganosis sebagai penyakit zoonosis terabaikan yang dapat berdampak besar tidak hanya dalam skala lokal tetapi juga nasional.

Penulis : Aditya Yudhana

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada artikel prosiding terindeks scopus kami di laman:

http://www.veterinaryworld.org/Vol.14/September-2021/24.html

Yudhana A, Praja RN, Kartikasari AM (2021) Sparganosis (Spirometra spp.) in Asian Water Monitor (Varanus salvator): A medical implications for veterinarians, breeders, and consumers, Veterinary World, 14(9): 2482-2487.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp