Pakar Kebijakan Publik UNAIR Paparkan Urgensi Penerapan Single Identity Number dan Pertimbangannya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Tribunnews

UNAIR NEWS – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (HPP) pada 7 Oktober 2021 lalu. Selain mengatur dan mengubah beberapa aturan perpajakan, dalam UU HPP itu disebutkan perihal integrasi data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Dengan kata lain, Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Mengutip pernyataan dari laman resmi Kementerian Keuangan RI disebutkan bahwa tujuan pengintegrasian ini untuk memudahkan wajib pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Sejak 2014 lalu, perbincangan mengenai integrasi data kependudukan kerap disinggung. Kini integrasi antara kependudukan dengan perpajakan seperti menjadi langkah baru dari wacana penerapan single identity number (SIN).

Menurut Gitadi Tegas Supramudyo, dosen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, integrasi NIK dengan NPWP ini perlu dikaji secara mendalam.

“Pengintegrasian NIK menjadi NPWP membutuhkan upaya ekstra serius, karena perlu pengkajian komprehensif-proyektif, juga pengalaman buruk kita beberapa waktu yang lalu,” ujar Gitadi, Selasa (12/10/21).

Pengalaman buruk yang dimaksud Gitadi perihal mega korupsi E-KTP yang hingga kini persidangannya belum selesai. Kendati demikian, menurut Gitadi Tegas, SIN merupakan kebutuhan.

“Pada dasarnya SIN adalah sebuah kebutuhan dalam kehidupan masyarakat maju atau modern, sebagaimana disemua negara maju, sehingga keberadaan NIK seharusnya adalah sebuah keniscayaan,” ungkapnya.

Gitadi menambahkan, integrasi data kependudukan di Indonesia dengan single identity number membutuhkan usaha yang keras dan komprehensif. Mengingat luasnya wilayah dan aksesibilitas masyarakat.

Gitadi Tegas Supramudyo, dosen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga

“Meski keberadaan SIN adalah keharusan, perlu effort ekstra keras ,kuat, dan komprehensif serta kepemimpinan yang kuat, agar institusi-institusi negara tidak membuat berbagai ID sendiri-sendiri,” terangnya.

“Juga terkait dengan luasnya wilayah, keterjangkauan pelayanan di pelosok-pelosok negeri, tingkat pendidikan dan kemasyarakatannya,” imbuh Gitadi.

Hal lain yang menjadi problematika terkait data adalah kebocoran. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, kebocoran data yang terjadi dalam institusi pemerintah, BPJS salah satunya, menambah kekhawatiran jikaSIN diterapkan. Pasalnya jika SIN diketahui, seluruh data termasuk keuangan akan bocor.

Perihal kebocoran data, pengajar Kebijakan Publik itu mengatakan bahwa pemerintah perlu membuat regulasi yang ketat untuk menjaga keamanan data masyarakat. “Antisipasi terhadap kebocoran data pribadi untuk kepentingan tertentu seperti kejahatan juga harus dibuat regulasi yang ketat dan keras,” ucapnya.

Selain itu, pelaksanaan dari pemberlakuan SIN ini juga memerlukan proses lama dan bertahap, mengingat banyaknya jumlah penduduk di Indonesia. Juga telah disebutkan Gitadi sebelumnya terkait akses informasi dan infrastruktur. Dengan berbagai keterbatasan, penggunaan SIN di Indonesia harus dipertimbangkan kembali jika dalam waktu dekat.

“Oleh karena itu pelaksanaannya harus bertahap, mempertimbangkan dan memetakan kondisi faktual dalam masyarakat. Jika belum siap, ya diperbaiki dulu pendataannya,” pungkasnya. (*)

Penulis: Tata Ferliana

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp