Yurisdiksi Hak Asasi Manusia Komnas HAM terhadap Perusahaan yang Terlibat dalam Krisis Kabut Asap

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Ekonomi Bisnis

Kebakaran hutan di Indonesia telah menyebabkan masalah krisis kabut asap yang serius secara nasional dan di kawasan Asia Tenggara, yang telah melanggar hak asasi manusia untuk hidup, kesehatan dan lingkungan yang sehat, hak atas pekerjaan, pendidikan, dan banyak lainnya. Kebakaran hutan sebagian besar berasal dari metode tebang-dan-bakar yang dilakukan dalam skala besar oleh korporasi untuk membuka lahan. Mekanisme peradilan terbukti tidak efektif untuk mencegah korporasi yang melanggar dan memberikan keadilan bagi korban.

Dari sudut pandang hukum, kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memungkinkannya untuk bertindak sebagai mekanisme pengaduan non-yudisial bagi korban dalam krisis kabut asap dan melawan perusahaan yang melanggar. Namun, sifat laporan dan mediasi Komnas HAM yang tidak mengikat, ketidakmampuan Komnas HAM untuk memaksa perusahaan pelanggar untuk berpartisipasi dalam penyelidikan dan mediasinya, serta menurunnya kepercayaan masyarakat pada integritas Komnas HAM dapat menjadi hambatan yang signifikan bagi pelaksanaan yurisdiksi dan penyediaan pemulihan yang efektif bagi korban.

Rencana Aksi Nasional Komnas HAM dan ELSAM tentang Bisnis dan HAM, yang dikeluarkan pada tahun 2017, merupakan langkah ke arah yang benar. Namun, diperlukan langkah lebih lanjut dari sudut pandang legislatif untuk memperluas mandat Komnas HAM agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif, dalam krisis kabut asap dan kasus-kasus lainnya yang melibatkan korporasi.

Ketidakefektifan mekanisme pemulihan melalui pengadilan memaksa korban pelanggaran HAM oleh korporasi untuk menggunakan mekanisme lain, misalnya mekanisme pemulihan. Salah satu mekanisme pemulihan non-yudisial terpenting dalam sistem hukum HAM Internasional adalah Lembaga HAM nasional (national human rights institution). Hal ini setidaknya karena dua alasan. Pertama, diformalisasikan melalui Paris Principles, Lembaga HAM Nasional atau NHRIs dirancang sebagai Lembaga independen yang tugasnya menjembatani pemerintah dan masyarakat dalam pemajuan HAM. Di Indonesia, NHRI yang saat ini bekerja sesuai dengan mandate Paris Principles adalah Komnas HAM.

Penelitian ini akan menganalisa apakah Komnas HAM memiliki yurisdiksi terhadap korporasi yang menyebabkan Krisis Asap sebagai bentuk mekanisme pemulihan bagi korban, apabila dapat, dalam bentuk apa yurisdiksi ini dijalankan? Selanjutnya, penelitian ini juga akan menganalisa kelemahan dalam kerangka hukum bekerjanya Komnas HAM dan memberikan saran bagaimana kerja Komnas HAM dapat ditingkatkan dalam membantu menyelesaikan Krisis Asap pada peristiwa pembakaran hutan oleh korporasi.

Berkaitan dengan kerangka hukum yang dimiiki oleh Komnas HAM, setidaknya ada tiga kelemahan, sebagai berikut:

Pertama, ketidakmampuan Komnas HAM dalam mengeluarkan Keputusan yang mengikat menghalanginya untuk dapat memberikan pemulihan efetif. Dilain pihak, kelemahan ini menghalangi baik Komnas HAM maupun korban untuk mendapatkan pemulihan yang telah ditetapkan oleh hukum, bahkan bila temuan investigasi Komnas HAM menyebutkan bahwa pelanggaran HAM telah terjadi.

Kedua, kewenangan Komnas HAM dalam mengumpulkan bukti, khususnya pemanggilan saksi, dapat mengurangi kemampuan KOmnas HAM untuk menjalankan tugas investigasinya. Komnas HAM tidak memiliki kemampuan untuk memanggil saksi dengan kekuatan mengikat, dan tanpa dapat meminta bantuan pengadilan.

Ketiga, Komnas HAM tidak dapat mempertahankan yurisdiksinya, dalam hal terdapat benturan kewenangan dengan Lembaga negara lainnya. Terlepas dari kesetaraan kedudukan antara Komnas HAM dengan Lembaga negara lainnya, anggota komisioner Komnas HAM tidak memiliki kekebalan sebagaimana penegak hukum lainnya.

Secara teoritis, kerangka hukum Komnas HAM memungkinkannya untuk memiliki yurisdiksi terhadap korporasi, melalui mandat yang dimilikinya. Lebih lanjut, dalam membantu proses pemulihan melalui pengadilan, Komnas HAM dapat memasukkan amicus curiae kepada pengadilan dalam sebuah kasus. Dalam banyak kasus, Komnas HAM telah melakukan mandatnya dan menggunakan mekanisme ini. Sayangnya, penggunaan mandat dan yurisdiksi Komnas HAM ini kurang efektif mengingat sifat dari rekomendasi dan hasil mediasi yang tidak mengikat. Lebih lanjut, Komnas HAM tidak memiliki kekuatan memaksa termasuk terhadap korporasi untuk berpartisipasi dalam proses investigasi dan mediasi. Lebih utama lagi, praktik yang kurang tranparan dalam tubuh Komnas HAM sendiri dalam beberapa tahun terakhir telah menurunkan kepercayaan publik. Sehingga, penggunaan yurisdiksi sesuai mandat Komnas HAM terhadap korporasi tidak dapat memberikan hasil maksimal bagi pemulihan korban.

Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM yang diinisiasi oleh Komnas HAM, dapat meningkatkan kerangka kerja dan reputasi Komnas HAM dalam pemantauan terhadap kegiatan usaha korporasi yang berdampak HAM. Namun perubahan substantial terhadap Undang-undang sangat diperlukan untuk memberikan yurisdiksi dan kekuatan memaksa kepada Komnas HAM untuk dapat memberikan mekanisme pemulihan non-yudisial yang efektif.   Untuk itu, diperlukan komunikasi terus menerus dengan berbagai pemangku kepentingan yang relevan yaitu – Komnas HAM, pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan akademisi guna merumuskan penguatan mandat Komnas HAM, khususnya berkaitan dengan pelanggaran HAM oleh korporasi.

Penulis: Iman Prihandono , Nadirsyah Hosen dan Keely Boom

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://scholarhub.ui.ac.id/ilrev/vol11/iss1/4/

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp