Urgensi Eksistensi Lembaga Penjamin Simpanan terhadap Koperasi Simpan Pinjam

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh ajaib.co.id

Kehadiran koperasi sebagai salah satu sarana prasarana dalam kegiatan perekonomian, seyogyanya wajib memberikan rasa aman dan nyaman kepada seluruh anggota koperasi yang mempercayakan keuangan para anggotanya pada koperasi. Selain berdasarkan atas prinsip-prinsip yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, koperasi juga melaksanakan kegiatan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya berupa simpan pinjam. Kelebihan yang didapat dengan melakukan pinjaman dana kepada koperasi seperti mekanisme pinjaman yang lebih mudah. Apabila dibandingkan dengan melakukan pinjaman pada bank, proses pengajuan dan pencairan dana pinjaman di koperasi lebih cepat. Namun, hal-hal seperti ketiadaan penjaminan atas dana simpanan dalam KSP dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem simpan pinjam dalam perkoperasian dan meresahkan masyarakat pula apabila terdapat kasus koperasi gagal bayar. Berbeda halnya dengan perbankan yang telah memiliki sistem penjaminan simpanan melalui Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut sebagai LPS), dimana nasabah dapat mengajukan klaim penjaminan simpanan pada bank yang dicabut izin usahanya dan LPS berkewajiban untuk melakukan pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah yang layak bayar.

Gagasan pembentukan lembaga penjaminan simpanan untuk anggota KSP sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 94 dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut dengan UU 17/2012). Pemerintah dapat membentuk LPS KSP untuk menjamin simpanan anggota bagi KSP dan ketentuan lebih lanjut mengenai LPS KSP akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 bahwasanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945) sehingga pemberlakuannya dicabut dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut dengan UU 25/1992) dinyatakan berlaku untuk sementara waktu samapi dengan terbentuknya Undang-Undang baru. Apabila melihat ketentuan-ketentuan dalam UU 25/1992, maka tidak ada amanat untuk membentuk suatu lembaga penjaminan simpanan bagi anggota KSP sebagaimana yang diatur dalam UU 17/2012.

Perkembangan lembaga keuangan non-bank telah banyak membantu berkaitan dengan peningkatan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat dengan tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah. Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (selanjutnya disebut sebagai UU LKM), dimana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, bentuk badan hukum yang dapat didirikan sebagai Lembaga Keuangan Mikro atau LKM salah satunya adalah koperasi. Tujuan dari eksistensi dan legitas dari LKM difokuskan untuk kegiatan usaha masyarakat yang bersifat mikro sehingga dapat menyediakan pendanaan maupun modal usaha skala mikro dan skala kecil.

LKM lebih tepatnya merupakan pengembangan dari bentuk koperasi dengan kegiatan usaha simpan pinjam atau KSP sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU 25/1992 karena berdasarkan Pasal 11 UU LKM, bahwasanya kegiatan usaha LKM dilakukan dengan adanya pengelolaan simpanan dan menyalurkan pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat. Yang menarik dari UU LKM ini adalah bahwasanya pada Pasal 19 UU LKM terdapat pengaturan mengenai penjaminan simpanan masyarakat pada LKM, yaitu dalam hal menjamin simpanan masyarakat pada LKM, maka pemerintah bersama pemerintah Daerah dan/atau LKM dapat membentuk lembaga penjamin simpanan LKM yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal ini dapat menjadi acuan dan dasar hukum pembentukan LPS tidak hanya untuk LKM tetapi juga untuk KSP karena pada dasarnya kegiatan yang dilakukan koperasi dalam bentuk LKM sama dengan kegiatan usaha simpan pinjam yang dilakukan pada KSP. Dapat diartikan bahwasanya dalam suatu kegiatan usaha yang melibatkan aktivitas pengelolaan simpanan dan penyaluran pinjaman dibutuhkan suatu lembaga yang dapat menjamin dana masyarakat yang berada dalam lembaga keuangan tersebut.

Sebagaimana penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan yang mengatur mengenai kegiatan simpan pinjam didalam koperasi belum mampu memberikan kepastian hukum terkait perlindungan dana anggota yang ada di dalam koperasi simpan pinjam. Aturan-aturan yang ada lebih mengatur mengenai aspek pencegahannya saja, belum mampu memberikan jaminan terhadap dana anggota yang ada didalamnya seperti yang dilakukan LPS terhadap dana nasabah yang ada didalam perbankan. Oleh sebab itu sudah selayaknya kegiatan simpan pinjam yang dilakukan oleh koperasi juga dilindungi oleh lembaga tambahan diluar koperasi yang sifatnya tidak hanya pencegahan, namun memberikan tindakan perlindungan secara langsung terhadap anggota-anggota koperasi yang menyimpan dananya pada koperasi simpan pinjam. Lembaga tersebut sejatinya sudah diatur dalam PP 9/1995 yakni Menteri yang membidangi Koperasi, namun perannya juga hanya bersifat pencegahan saja, tidak bersifat penindakan terhadap kerugian yang dialami anggotanya, sebaliknya jika melibatkan peran LPS  pada KSP tentunya akan memberikan rasa aman dan nyaman terhadap anggota koperasi yang menyimpan dananya pada koperasi tersebut. LPS KSP nantinya menjadi bentuk perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection) yang berasal dari eksternal koperasi yang turut bekerjasama dengan pengawas internal yang dimiliki oleh KSP. Mengingat bahwa koperasi juga memiliki peran terhadap perekonomian nasional yang berlandaskan asas kekeluargaan.

Penulis: Hilda Yunita Sabrie, S.H., M.H.

Link Jurnal: http://ojs.uho.ac.id/index.php/holrev/article/view/19857

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp