Stigma Sosial terhadap Penyakit Kusta

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh rsabhk.co.id

Di saat kita mengetahui ada penyakit yang sedang dialami oleh keluarga, kerabat, maupun orang-orang di sekitar kita, seketika timbul rasa empati terhadap mereka dengan jalan mendatangi kediamannya, menanyakan kabar mereka dan keluarganya, hingga menawarkan bantuan dalam berbagai bentuk, yang dapat berdampak positif terhadap proses penyembuhan penyakit tersebut. Tetapi, bagaimana jika penyakit yang dialami adalah penyakit Kusta? Masihkah kita mau berempati dan membantu mereka?

Kusta (Morbus Hansen) adalah penyakit menahun yang menular, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Meskipun bakteri penyebab penyakit Kusta baru ditemukan pada tahun 1873, penyakit ini sudah muncul sejak lebih dari 3.000 tahun yang lalu. Mekanisme penularan utama dari penyakit Kusta adalah melalui saluran nafas dan tidak menular melalui sentuhan. Penyakit Kusta dapat menimbulkan gejala setelah masa inkubasi yang panjang, mulai dari 6 bulan hingga 20 tahun lamanya. Gejala yang timbul antara lain adalah bercak putih pada kulit yang disertai berkurangnya sensitivitas, dan gangguan sistem saraf di beberapa bagian tubuh yang dapat menimbulkan kelumpuhan. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 4 juta pengidap penyakit Kusta dan 202.000 kasus penyakit Kusta baru yang dideteksi pada tahun 2020, dengan 17.500 diantaranya berasal dari Indonesia.

Stigma dan diskriminasi sosial yang dirasakan oleh pengidap penyakit Kusta telah terjadi selama ratusan tahun lamanya dan imbas yang dirasakan dapat melebihi gejala fisik yang disebabkan oleh penyakit Kusta itu sendiri. Selain itu, stigma dan diskriminasi sosial dapat berakibat pada kesulitan penemuan kasus baru, terhambatnya upaya penyembuhan penyakit, dan berkurangnya kualitas hidup pengidap penyakit Kusta, yang akhirnya menjadi lingkaran setan yang tak terselesaikan.

Ulasan sistematis telah dibuat dengan menggunakan 13 artikel penelitian dari 2.636 jurnal. Benua Asia merupakan lokasi dilakukannya studi yang terbanyak (8), diikuti dengan benua Afrika (3) dan Amerika Selatan (2). Dilakukan analisis yang terfokus mengenai penyebab, manifestasi, dan akibat dari stigma terhadap penyakit Kusta. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyebab utama stigma terhadap penyakit Kusta adalah miskonsepsi kultural dan gejala penyakit Kusta, dengan manifestasi stigma utama yaitu penghindaran, pengucilan, penyembunyian penyakit, serta memiliki dampak utama yaitu isolasi sosial dari komunitas dan rasa malu.

Dari berbagai kultur yang berbeda, terdapat suatu gagasan dengan tema yang sama, yaitu bahwa penyakit Kusta yang dialami berhubungan dengan hukuman dari Tuhan dan dosa yang dilakukan oleh pengidapnya maupun keturunan diatasnya, dan adanya kutukan terhadap pengidap penyakit Kusta. Hal ini disebabkan oleh penyakit “Kusta” pada kitab suci agama Islam dan Kristen didefinisikan sebagai penyakit yang tidak bisa disembuhkan yang dimunculkan oleh Tuhan untuk menghukum manusia atas dosanya, yang saat ini telah dijelaskan bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit yang berbeda dengan penyakit yang ada saat ini. Oleh karena itu, berbagai organisasi dunia saat ini telah mengganti nama penyakit Kusta menjadi Morbus Hansen.

Pengidap yang memiliki gejala yang terlihat di tubuh yang tidak tertutup pakaian kerap menganggap kondisinya sebagai ‘abnormal’, meskipun ia sudah sembuh dari penyakitnya. Hal ini membuat stigma yang dirasakan akan semakin besar, dan skala interaksi sosial dari pengidap penyakit Kusta akan semakin kecil apabila gejala yang dialami lebih terlihat.

Pengucilan dan penyembunyian diagnosis penyakit adalah bentuk manifestasi dari stigmayang paling banyak ditemukan. Contoh dari bentuk manifestasi ini adalah keengganan masyarakat untuk membeli barang atau menerima makanan dari pengidap penyakit kusta; pemecatan dari pekerjaan; perundungan dan pengucilan; hingga keengganan untuk berjabat tangan dan berada dalam satu ruangan. Sehingga pengidap kusta memilih untuk menyembunyikan penyakitnya kepada rekan kerja, keluarga, dan anggota masyarakat karena rasa malu, takut kehilangan pekerjaan, takut akan adanya pengucilan dan terjadinya isolasi sosial dari masyarakat.

Walaupun sudah sembuh, pengidap penyakit kusta masih merasakan isolasi serta eksklusi sosial dari masyarakat sekitar. Selain itu, percobaan pembunuhan dari masyarakat terhadap pengidap penyakit kusta juga terjadi, yang mengindikasikan bahwa derajat keparahan stigma yang dialami oleh pengidap penyakit Kusta sudah sangat tinggi. Pengidap penyakit kusta juga merasakan frustasi, kemarahan, rasa sedih, malu, dan juga depresi, yang menyebabkan timbulnya rasa membenci diri sendiri dan ingin bunuh diri.

Setelah mengetahui buruknya stigma dan diskriminasi sosial terhadap penyakit Kusta dan pengidapnya, lantas apa yang bisa kita perbuat untuk membantu mereka memerangi stigma dan diskriminasi terhadap penyakit Kusta? Yang pertama dan yang terpenting: memahami. Pahami sejarahnya; pahami perjalanan penyakit, gejala, dan penularannya; serta pahami apa saja bentuk stigma dan diskriminasi yang mereka alami dan bagaimana imbasnya. Setelahnya, sebarkan pemahaman tersebut ke sekitar kita, tingkatkan frekuensi pembahasan mengenai fakta dari penyakit Kusta, hingga di titik dimana kata “Kusta” bukan menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, dan di titik dimana kita dapat melihat mereka− para pengidap penyakit Kusta− sebagai manusia.

Penulis: Dr. Afif Nurul Hidayati, dr., SpKK(K), FINSDV, FAADV

Informasi lebih lengkap dari artikel ini bisa dilihat di: https://www.jpad.com.pk/index.php/jpad/article/view/1658

Journal of Pakistan Association of Dermatologists. 2021; 31(2): 250-261

Stigma toward leprosy: A systematic review. Ihsan Fachry Arba, Afif Nurul Hidayati, Soetjipto, Damayanti

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp