Menakar Kemampuan Kecerdasan Budaya dan Kinerja Pustakawan Perguruan Tinggi di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh The Balance Careers

Keragaman budaya hampir bisa ditemukan pada setiap negara, apalagi negara yang memiliki banyak suku, ras, adat istiadat seperti di Indonesia, selain itu keragaman budaya berkaitan dengan orang-orang yang berbeda pendapat, pemikiran, kepercayaan, norma, nilai, tren, dan tradisi. Keragaman budaya juga berlaku pada pegawai negeri maupun swasta. Hal ini bisa dilihat dari asal daerah pada para pegawai di suatu perusahaan atau instansi. Demikian juga bagi para pustakawan perguruan tinggi yang menjadi responden dalam penelitian ini.

Pustakawan perguruan tinggi menghadapi keragaman budaya dalam berinteraksi dengan sesama pustakawan maupun dengan para pemustakanya, antara lain mahasiswa, dosen, maupun staf akademik dalam suatu perguruan tinggi. Keragaman budaya diyakini menghasilkan sinergi yang membuat organisasi menjadi lebih kuat, fleksibel, dan lincah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pustakawan yang berasal dari budaya berbeda biasanya memiliki cara berpikir yang berbeda sehingga dapat menganalisis suatu masalah dari berbagai macam perspektif.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa budaya pegawai yang beragam mengungguli kelompok yang homogen dalam mengidentifikasi masalah dan menghasilkan solusi yang lebih kreatif (Marquardt & Horvath, 2001; Maznevski, 1994). Oleh sebab itu, agar mampu beradaptasi dan berhasil dalam organisasi yang beragam budaya, seorang karyawan harus dilengkapi dengan kompetensi yang disebut kecerdasan budaya atau Cultural Quotient (CQ).

Dalam studi ini, CQ dihubungkan dengan kinerja pustakawan perguruan tinggi, jumlah responden yang mengisi kuesioner sebanyak 305 pustakawan tersebar pada seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Kecerdasan Budaya

Kecerdasan budaya seperti dipaparkan oleh Earley dan Ang (2003) dan Ang dkk. (2007) yaitu “kemampuan individu agar berhasil beradaptasi dengan lingkungan budaya baru dan berfungsi dengan mudah serta efektif dalam situasi yang dicirikan oleh keragaman budaya”. Secara singkat CQ merupakan kemampuan memahami perbedaan budaya atau dengan kata lain pengakuan pentingnya identitas multikultural. Model dan pengukuran CQ dikembangkan oleh Earley dan Ang (2003), Ang dkk. (2007) serta Ang dan Van Dyne (2008) menggunakan empat dimensi, yaitu meta-kognitif, kognitif, motivasi dan perilaku. Sebagian besar penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keempat dimensi ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan.  

Dampak Tidak Memiliki Kecerdasan Budaya

Pengakuan dan pemahaman terhadap keragaman budaya yang dimiliki oleh individu, merupakan cerminan dari kemampuan kecerdasan budaya yang tinggi. Hal ini tampak dalam pola tingkah laku yang terukur seperti penghargaan terhadap perbedaan pendapat dan pandangan terhadap suatu masalah, perbedaan ide dan gagasan. Semakin banyak ragam masukan, ide dan gagasan akan semakin terbuka peluang munculnya alternatif penyelesaian masalah. Namun, sebaliknya jika kemampuan kecerdasan budaya yang rendah akan menimbulkan problematika antara lain:

Pertama, timbulnya kesalahpahaman budaya. Beberapa studi menunjukkan bahwa keragaman budaya dapat menyebabkan ketidaksopanan di tempat kerja, di mana individu diperlakukan oleh orang lain dengan cara yang tidak sopan, kasar, dan tidak sabar, atau menunjukkan kurangnya rasa hormat (Welcourne, Gangadharan, & Sariol, 2015). Perilaku kasar, atau tidak sopan dapat dimaknai berbeda oleh individu, misalnya, menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri akan dinilai tidak sopan dan menghina oleh masyarakat Indonesia, tetapi di negara barat hal yang biasa (Handoyo, Samian, & D. dan Suhariadi, F., 2018).

Kedua, diskriminasi etnis. Diskriminasi etnis mengacu pada “pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, etnis atau kebangsaan dan mengklasifikasikan orang ke dalam kelompok yang berbeda di mana anggota kelompok menerima perlakuan dan hak yang berbeda dan biasanya tidak setara tanpa pembenaran rasional” (Cotter, 2006).

Dalam suatu organisasi, diskriminasi etnis bisa sangat membahayakan kelangsungan organisasi, karena mengakibatkan perlakuan yang berbeda dalam pekerjaan yang berkaitan perekrutan, promosi, disiplin, pemberhentian, kompensasi, dan lainnya. Hasil studi dari Giuliano, Levine, dan Leonard (2009) mempelajari bias rasial dalam hubungan manajer-karyawan di sebuah perusahaan ritel besar dan menemukan bahwa pola umum bias ras sendiri ada dalam hal pemberhentian atau pemecatan, dan promosi pegawai.

Dampak Positif Kecerdasan Budaya

Kemampuan kecerdasan budaya ternyata memiliki dampak positif terhadap kinerja dan kemajuan karyawan, termasuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Beberapa penelitian telah menyoroti inovasi dan kreativitas, kemampuan pemecahan masalah, dan fleksibilitas organisasi ketika menggambarkan dampak keragaman tenaga kerja pada proses pengambilan keputusan (Cletus, Mahmood, Umar, & Ibrahim, 2018) akan membantu meningkatkan kapasitas organisasi untuk berkembang dan berinovasi (Emma, 2019).

Berkenaan dengan pemecahan masalah, ternyata semakin heterogen sudut pandang alternatif pemecahan masalah akan menghasilkan keputusan yang lebih baik (Cox & Blake, 1991). Dalam praktik manajemen multikultural suatu organisasi akan menghasilkan penyesuaian dan penyelarasan yang fleksibel (Cox & Blake, 1991). Jika dikelola dan ditangani dengan baik, perbedaan budaya yang beragam dapat memberikan pelajaran dalam penyelesaian konflik di tempat kerja (Cletus dkk., 2018).

Kemampuan Kecerdasan Budaya Pustakawan Perguruan Tinggi

Berdasar hasil penelitian menunjukkan bahwa CQ para pustakawan dari empat dimensi CQ, motivasi memiliki skor tertinggi, diikuti oleh meta-kognitif dan perilaku. Motivasi berkaitan dengan tingkat minat, dorongan dan energi yang dibutuhkan untuk bisa beradaptasi dengan budaya lain. Pustakawan dengan motivasi tinggi biasanya akan senang berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda. Mereka juga percaya diri bersosialisasi dengan rekan kerja atau pengunjung perpustakaan dari budaya yang beragam.

Dimensi Meta-kognitif, berada di peringkat kedua, artinya pustakawan merenungkan dan kemudian mengembangkan keterampilan budaya dan pengetahuan selama interaksi dengan individu dari budaya yang beragam (Ang & Van Dyne, 2008). Melalui layanan, para pustakawan ini kemungkinan besar memperoleh dan memahami pengetahuan budaya baru dari individu lain.

Dimensi CQ berupa perilaku juga menunjukkan skor cukup tinggi, hal ini mengungkapkan bahwa dalam lingkungan kerja pustakawan yang beragam budaya menunjukkan kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal yang kuat. Selain itu, ketika berkomunikasi dengan individu atau pengguna dari berbagai latar belakang, pustakawan harus memiliki kemampuan untuk menggunakan kata-kata, suara, gerak tubuh, dan ekspresi wajah yang relevan secara budaya.

Secara kognitif, pustakawan memiliki pemahaman yang jelas tentang (i) struktur hukum dan ekonomi budaya lain, (ii) hukum bahasa lain (misalnya, kosa kata, tata bahasa), (iii) budaya lain, prinsip moral dan keyakinan agama, serta (iv) seni dan kerajinan budaya lain. Masrek dkk. (2017).

Kinerja Pustakawan

Hasil penelitian, kinerja tugas dan kinerja kontekstual pustakawan cukup tinggi. Kinerja tugas berhubungan langsung dengan inti teknis organisasi menggabungkan aspek pengumpulan, instruksi, dan layanan. Skor kinerja tugas yang baik akan menunjukkan bahwa pustakawan berkinerja sangat baik di bidang akuisisi dan pemrosesan, katalogisasi, pengumpulan dan pengelolaan, teknologi sumber daya digital, manajemen sumber daya, konservasi, pelatihan, layanan pengguna, dll.

Dalam hal kinerja kontekstual, menunjukkan bahwa pustakawan selalu patuh pada aturan dan peraturan organisasi; bahwa mereka memperlakukan properti organisasi dengan hati-hati; bahwa mereka mematuhi nilai-nilai dan kebijakan organisasi; dan bahwa mereka terus bekerja dengan sukses meskipun keadaan sulit.

Hal ini juga berarti bahwa pustakawan perguruan tinggi selalu memperhatikan citra perpustakaan dan universitas mereka, oleh karena itu perlu menjaga hubungan kerja yang efektif dengan rekan kerja.

Penguatan Kecerdasan Budaya untuk Mendongkrak Kinerja

Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat motivasi, kognitif, meta-kognitif dan perilaku, semakin baik kinerja pustakawan. Hal ini menunjukkan bahwa pustakawan yang cerdas secara budaya pada umumnya mampu berkomunikasi dengan individu-individu yang beragam; mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk berinteraksi.  Jika hal ini dipelihara, akan membantu menciptakan hubungan dan kepercayaan antar individu karena mereka saling memahami budaya, nilai, perilaku, dan sebagainya. Pustakawan yang cerdas secara budaya juga mampu menawarkan hasil terbaiknya pada organisasi karena dapat berkomunikasi dengan mudah dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa kinerja pustakawan perguruan tinggi dapat lebih diperkuat ketika pustakawan dilengkapi dengan CQ yang memadai. Keterampilan CQ, meskipun dapat diperoleh melalui pelatihan dan lokakarya, akan membutuhkan iklim yang menguntungkan, seperti kepemimpinan yang mendukung, desain kerja yang fleksibel yang memungkinkan rotasi pekerjaan dan penghargaan atau insentif bagi pustakawan yang terlatih dan unggul dalam CQ.

Penulis: Mohammad Noorman Masrek, Helmy Prasetyo Yuwinanto, Ragil Tri Atmi, Tri Soesantari, Fitri Mutia

Link Jurnal: https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0099133321000859

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp