Gubes UNAIR: Waspadai Penularan AMR dari Hewan dan Produk Hewan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Prof. Dr. Mustofa Helmi Effendi, drh., DTAPH. saat memberikan orasi ilmiah pada pengukuhan guru besar. (Foto: Agus Irwanto)

UNAIR NEWS – Prof. Dr. Mustofa Helmi Effendi, drh., DTAPH. resmi dikukuhkan menjadi Guru Besar ke-524 Universitas Airlangga (UNAIR). Pengukuhan itu berlangsung pada Rabu (06/10/2021) di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen Kampus C UNAIR

Dalam kesempatan pidato, Guru Besar bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner itu menyampaikan mengenai pentingnya kesadaran masyarakat tentang potensi penularan Antimicrobial Resistance (AMR) yang bersumber dari hewan dan produk hewan. Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) itu menjelaskan bahwa pada sektor peternakan, antibiotik sering digunakan sebagai Antibiotic Growth Promoter (AGP).

Penggunaan antibiotik, lanjutnya, berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan ternak agar dapat tumbuh lebih besar dalam waktu yang cukup singkat. Selain itu, imbuhnya, pemberian AGP juga sebagai upaya untuk mencegah ternak terkena penyakit infeksi. Namun jika antibiotik ini digunakan secara berlebihan maka dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut.

“Berbagai usaha dilakukan untuk menekan kasus resistensi terhadap antibiotik, melalui Permentan No.14/PERMENTAN/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, sejak 1 Januari 2018 Pemerintah melarang penggunaan AGP dalam pakan,” papar tersebut.

Pakan ternak, tandasnya, harus dipastikan terbebas dari hormon tertentu dan atau antibiotik imbuhan pakan. Pelarangan ini juga diperkuat dengan Permentan No.22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan, yang mensyaratkan pernyataan tidak menggunakan AGP dalam formula pakan yang diproduksi bagi produsen yang akan mendaftarkan pakan.

“Walaupun penggunaan AGP telah dilarang beberapa tahun yang lalu, namun dampaknya masih tetap terasa hingga sekarang,” ujar Prof. Helmi.

AMR dari Susu Segar di Jawa Timur

Adanya kontaminasi MRSA sebesar 19,6 persen dan kontaminasi E. coli penghasil ESBL 1,7 persen dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kebersihan pemerahan yang rendah. Selain itu, pencemaran MRSA dan E. coli penghasil ESBL sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat, yang akan meningkatkan potensi penyebaran infeksi agen AMR yang sulit diobati.

“Kita semua harus mulai waspada adanya AMR yang bersumber dari susu segar ini, untuk mengurangi dampaknya harus dilakukan pemanasan susu segar sebelum dikonsumsi dan juga perlunya pengawasan penggunaan antibiotik di peternakan dengan baik dan benar,” jelas Prof. Helmi.

AMR dari Perunggasan

Prevalensi AMR E coli penghasil ESBL 7,03 persen dari ayam petelur dan 28,75 persen dari ayam pedaging. Hasil analisis asosiasi antara kejadian Escherichia coli penghasil ESBL dengan variabel program  pemberian antibiotik berkorelasi dengan variabel tujuan penggunaan antibiotik. Dari analisis dapat memberikan pencerahan bahwa kejadian AMR pada peternakan ayam dapat diperkecil dengan menggunakan antibiotik hanya untuk pengobatan saja.

“AMR dari ayam yang dijual di pasar tradisional Surabaya juga menampakkan data adanya E. coli penghasil ESBL, untuk menekan tingkat prevalensi E. coli penghasil ESBL perlu disosialisasikan perlunya penggunaan antibiotik yang baik dan benar pada peternakan unggas,” ungkap Prof. Helmi.

AMR dari Hewan Kesayangan

Infeksi MRSA pada anjing penting untuk dipertimbangkan dan diselidiki, mengingat kesamaan karakteristik antara gen MRSA yang ditemukan pada anjing dan manusia yang mengindikasikan telah terjadi infeksi saling berhubungan. Data tahun 2019 menunjukkan bahwa 14 dari 24 Staphylococcus aureus adalah MRSA. Sedangkan data yang berkaitan tentang E. coli penghasil ESBL dari hewan kesayangan menunjukkan bahwa 8 dari 85 isolat Escherichia coli adalah penghasil ESBL.

“Data AMR dari hewan kesayangan ini melalui uji konfirmasi, yaitu pembuktian MRSA dengan Oxacillin Resistance Screening Agar (ORSA) dilanjutkan dengan uji gen MecA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), untuk pembuktian E. coli penghasil ESBL melalui uji DDST, Vitek-2 dan gen blaCTX-M dan blaTEM menggunakan PCR,” jelas Prof. Helmi.

Pada akhir, Prof. Helmi mengingatkan agar implementasi peraturan pemerintah berkaitan dengan penggunaan antibiotik harus kita jaga dan sukseskan bersama. Sosialisasi adanya AMR yang berguna untuk peningkatan kesadaran masyarakat tentang adanya potensi penularan ke manusia.

“Dengan demikian data ini dapat meningkatkan pengetahuan kita tentang prevalensi dan uji karakterisasi isolat AMR dari hewan dan produk hewan,” pungkasnya. (*)

Penulis: Muhammad Suryadiningrat

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp