Mengingat Ulang G30S 1965 dan Kejahatan Luar Biasa oleh Negara

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh YPKP 1965

UNAIR NEWS – Guna memperingati Gerakan 30 September (G30S), Human Rights Law Studies (HRLS) UNAIR menggelar diskusi terkait prospek keadilan korban Genosida 1965-66 dengan mengundang narasumber Manunggal Wardaya, Ph.D., seorang akademisi hukum Universitas Jenderal Soedirman yang fokus studinya pada peristiwa 1965-66. Diskusi tersebut digelar pada Kamis siang (30/9/2021).

Manunggal menceritakan latar belakang Genosida tersebut ialah ketidakstabilan politik di era Demokrasi Terpimpin Soekarno. Di era itu, terdapat kontestasi dua kekuatan besar yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) dan militer. Hal itu juga ditambah dengan kabar burung bahwa Soekarno sedang sakit keras dan kedua kekuatan itu birahi untuk mengganti kekuasaannya. Manunggal menambahkan bahwa ketidakstabilan itu membludak dimana enam perwira militer dan satu ajudan dibunuh pada G30S/1965.

“Masih diselimuti ketidakpastian fakta terkait siapa dalang utama upaya kudeta itu. Yang jelas, terbunuhnya perwira militer dijadikan kesempatan oleh Pangkostrad Soeharto untuk konsolidasi kuasa militer dan menuduh PKI sebagai dalang tunggal dari G30S itu. Penuduhan itu diliarkan dengan kampanye besar-besaran untuk membentuk opini publik,” tutur Pakar HTN itu.

Kontrol opini publik oleh militer itu yang menumbuhkan kebencian publik terhadap PKI. Dibantu oleh berbagai elemen masyarakat seperti ormas, militer menggencarkan pembunuhan massal di Indonesia terhadap siapapun yang dianggap berafiliasi dengan PKI dan Soekarno. Berdasarkan berbagai riset, Manunggal mengestimasikan korban genosida itu sekitar 500 ribu hingga 3 juta jiwa. Suasana kaotik dan berdarah itu yang menyebabkan Soekarno menandatangani Supersemar, yang dimaknai sebagai penyerahan kekuasaan ke Soeharto dan Orde Baru akhirnya berdiri. TAP MPRS XXV/MPRS/1966 juga dikeluarkan yang menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang dan paham komunisme dilarang beredar.

“Orang-orang yang dituduh PKI itu beberapa tak ada hubungannya sama komunisme atau Soekarno. Ada satu cerita bahwa ada dokter yang dituduh PKI hanya karena salah satu pasiennya adalah PKI. Belum lagi mereka juga dipenjara tanpa adanya pengadilan dan penyiksaan di balik terungku itu marak. Mereka yang dianggap pro-Soekarno di luar negeri juga dicabut paspornya, menjadikan mereka stateless,” jelas alumni Radboud University itu.

Mereka yang dianggap negara memiliki keterkaitan dengan PKI dan Soekarno harus hidup dalam diskriminasi sistemik di era Orde Baru. Beberapa model diskriminasi yang dicatatkan Manunggal ialah pengecapan ET (eks tapol) di KTP-nya sehingga terjadi kematian perdata. Beberapa aspek kematian perdata itu tak biasanya memiliki usaha dan tak bisa mendaftar menjadi pegawai negeri, sehingga yang terjadi adalah pemiskinan sistemik bagi para ET tersebut. Kebijakan diskriminatif lain ialah pengasingan ET ke Pulau Buru.

“Apabila saya menyadur bukunya Pramoedya yang Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kita dapat membaca bahwa di Pulau Buru itu negara membuat kamp konsentrasi layaknya Nazi disana. Mereka disuruh kerja paksa untuk membuka lahan dengan kondisi yang mengenaskan dan berbahaya,” tuturnya.

Manunggal juga memaparkan bagaimana rezim Orde Baru menginstitusikan paham anti-komunisme di masyarakat Indonesia, terutama di sistem pendidikan. Narasi sejarah resmi lewat produk budaya seperti film dan sastra melanggengkan kebencian bahwa komunisme merupakan ancaman terbesar negara. Ia juga menambahkan bahwa bentuk memorialisasi seperti pengibaran bendera setengah tiang pada 30 September dan peringatan Hari Kesaktian Pancasila adalah salah satu contoh institusionalisme suatu paham. Sekalipun Reformasi telah berkelindan dua dekade, paham anti-komunisme masih tetap hingga di masyarakat Indonesia.

“Genosida 1965-66 juga lenyap dalam pengetahuan publik. Kalau saya baca buku pelajaran anak saya, tak pernah disebut kejadian mengerikan itu. Stigmatisasi komunisme juga jadi cap pamungkas untuk rezim Orde Baru kepada siapapun yang menghalangi agendanya. Negara selalu ngomong bahwa rakyat dan penjajah pernah jahat, tetapi negara tak pernah ngomong bahwa dirinya juga pernah jahat,” tekan Manunggal.

Bagian dua dari pemaparan Manunggal Wardaya dalam Diskusi HRLS dapat dibaca disini

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp