Menilik Korupsi dari Dimensi Sistem Sosial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh taktik.co.id

Tatkala kasus korupsi terus meruyak di negeri ini, pandangan banyak orang sering tertuju kepada sistem hukum dan sistem pendidikan. Sistem hukum menyangkut lemahnya penegakan hukum yang membesarkan ketidaktakutan orang untuk melakukan korupsi. Keuntungan yang diperoleh oleh koruptor dirasa lebih besar dibanding sanksi yang akan menimpanya.

Sistem pendidikan menyangkut rendahnya pendidikan karakter bagi peserta didik di berbagai satuan pendidikan, terlebih khusus satuan pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Ketidakmatangan secara karakter ini membuat seseorang tak memiliki kontrol moral yang cukup untuk menahan dirinya melakukan korupsi saat terlibat dalam pekerjaan dengan otoritas yang tinggi atau pekerjaan di “lahan basah.”

Namun, fenomena seperti para koruptor yang melambaikan tangannya ke kamera dengan ekspresi wajah tanpa rasa bersalah dan rasa malu; atau mantan terpidana korupsi yang secara intens tampil di televisi; atau wacana mantan terpidana korupsi boleh mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan umum; adalah petunjuk yang mendorong kita untuk melihat korupsi tidak sebatas pada dimensi sistem hukum dan sistem pendidikan. Satu dimensi lain yang lebih urgen adalah ihwal sistem sosial.

Berpaling ke sistem sosial

Sistem sosial di sini mengenai sikap masyarakat terhadap praktik korupsi itu sendiri. Kiranya tak berlebihan untuk mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki sikap permisif terhadap korupsi. Korupsi belum sungguh dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa dan serius. Sikap permisif itu menyebabkan ketiadaan guilt culture (budaya rasa bersalah) dan shame culture (budaya malu) ketika seseorang melakukan korupsi. Ketiadaan guilt culture dan shame culture itulah biang dari kasus korupsi yang terus meruyak di negeri ini.

Sikap permisif itu dapat terlihat dalam hal suatu masyarakat yang dalam pembangunan fasilitas-fasilitas di tempat tinggal mereka tetap menerima sumbangan dari seorang politisi, yang sebenarnya dari “kabar burung” mereka tahu bahwa dia telah melakukan korupsi. Atau politisi yang telah diduga korupsi oleh banyak orang tetapi membangun fasilitas olahraga gratis di lingkungan tempat tinggalnya untuk mengambil hati masyarakat di sekitarnya. Dan masyarakat di situ membiarkan anak-anak mereka untuk memanfaatkan fasilitas olahraga tersebut.

Memperhatikan ketangguhan sistem sosial dalam menanggulangi korupsi bermakna memberi sanksi sosial yang tegas dari masyarakat terhadap praktik korupsi. Seturut itu, pertama-tama korupsi mesti dianggap sebagai aib dan tabu dan karena itu setiap koruptor mesti dikucilkan. Sanksi sosial berupa pengucilan ini akan melahirkan rasa bersalah dan rasa malu yang mendalam ketika seseorang melakukan korupsi. Kondisi itu akan membuat orang takut untuk melakukan korupsi dan pada saat bersamaan mengurangi praktik korupsi.

Ketangguhan sistem sosial itulah salah satu sebab kasus korupsi di Korea Selatan menjadi rendah. Sikap mereka yang menganggap korupsi sebagai aib membuat mereka sungguh melakukan pengucilan terhadap koruptor. Seorang mantan koruptor tidak akan diundang dalam acara perkawinan dengan alasan telah mempermalukan keluarganya. Bayangkan apabila sanksi sosial serupa diterapkan juga di Indonesia. Seorang mantan koruptor tidak boleh ikut dalam acara reuni dengan teman kelas semasa SMA misalnya, karena telah mempermalukan institusi sekolahnya. Tindakan pengucilan seperti itu juga mendikte kita untuk menganggap aib dan tabu ketika seorang mantan koruptor secara intens tampil di televisi untuk mewakili partai politiknya dengan bahasa tubuh seolah-olah dirinya tak pernah melakukan kejahatan terhadap rakyat.

Saat kita mendengar perkataan bahwa korupsi hanyalah soal nasib baik dan nasib buruk, itu sebenarnya adalah semacam lelucon bernada sinis terkait sikap permisif bangsa ini terhadap korupsi. Memperbaiki sistem sosial kita adalah upaya untuk mengubah sikap permisif itu menjadi sebuah nilai baru bahwa korupsi adalah sungguh kejahatan pidana yang mesti mendapat sanksi yang serius. Apabila korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, maka pemberian sanksi terhadapnya juga harus luar biasa.

Pembenahan sistem sosial dalam menanggulangi korupsi menegaskan mantra umum, yang cukup sering diungkapkan pula oleh sosiolog Ignas Kleden bahwa: “hanya dalam masyarakat yang bersih, korupsi itu dapat menyusut.”

Penulis: Ransis Raenputra, (Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp