Stujep Ajak Mahasiswa Diskusikan Kajian Gender Jepang

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Studi Kejepangan (Stujep) Universitas Airlangga (UNAIR) memperingati lustrum yang ke-3. Dalam peringatan tersebut Stujep mengadakan webinar series dengan tema ‘Kajian Linguistik, Sastra, dan Budaya Jepang dalam Perspektif Jepang’. Webinar series itu menghadarikan tiga pembicara ahli yaitu Dr. Wiwik Retno Handayani, M. Hum, Rouli Esther Pasaribu, Ph.D, dan Nunuk Endah Srimulyani, Ph.D.

Materi pertama disampaikan oleh Dr. Wiwik Retno Handayani, M. Hum yang merupakan dosen Universitas Gadjah Mada dengan judul ‘Upaya Kesetaraan Gender oleh Remaja Perempuan Gyaru dalam Berbahasa’. Materi kedua dibawakan oleh Rouli Esther Pasaribu, Ph.D, dosen Universitas Indonesia dengan judul ‘Kajian Sastra Jepang Perspektif Gender’. Dan materi ketiga disampaikan oleh dosen Universitas Airlangga, Rouli Esther Pasaribu, Ph.D dengan judul ‘Kajian Budaya Jepang: dari Norma Tradisional hingga Fluiditas Gender’.

Mengkaji mengenai perempuan gyaru, Wiwik menjelaskan bahwa gyaru mengkonstruksikan bahasa melalui gyarugo sebagai ekspresi diri dan menciptakan kesetaraan dalam komunikasi. Wiwik juga menyatakan bahwa gyaru membuat dan menggunakan kata bermakna kasar sehingga disebut pemberontakan terhadap peran gender tradisional.

“Gyaru melakukan pemberontakan terhadap peran tradisional yang mengharapkan perempuan berbahasa santun, dia membuat sejumlah kata yang kasar. Dia termasuk slang sebenarnya, dinamikanya tinggi dan saat ini sudah jarang digunakan,” jelasnya.

Selanjutnya pada materi kedua, Rouli menyampaikan bahwa kajian sastra Jepang dalam perspektif gender memungkinkan untuk melihat lebih dekat, dalam, dan kritis isu-isu gender di Jepang. Kajian sastra Jepang dalam perspektif gender tidak selalu mengenai perempuan tapi lebih pada dinamikai relasi kuasa laki-laki dan bukan laki-laki.

“Kajian karya sastra Jepang dalam perspektif gender ini tidak selalu bicara tentang masalah perempuan tapi lebih kepada dinamika relasi kuasa laki-laki dan juga bukan laki-laki. Jadi bukan laki-laki termasuk misalnya laki-laki yang tidak heretoseksual, juga perempuan di dalam masyarakat Jepang modern dan kontemporer,” jelasnya.

Kemudian pada sesi terkahir, Nunuk menyampaikan bahwa perempuan di Jepang selalu dilibatkan pada pengasuhan sehingga perempuan tidak bisa menembus glass celling. Meskipun sudah ada kebijkan sosial ekonomi ranah perempuan namun belum mampu mempersempit kesenjangan gender di Jepang.

“Meskipun tidak ada perubahan signifikan, kita tidak bisa memungkiri bahwa feminitas dan maskulinitas  serta peran gender  tradisional di Jepang  mengalami fluiditas, jadi lebih cair begitu ya, dan perubahan-perubahan nilai terjadi cukup signifikan seiring dengan perubahan sosial budaya dan masyarakat,” tutupnya. (*)

Penulis: Wiji Astutik

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp