Catatan Kritis Pakar Hukum Adat UNAIR Tentang RUU Masyarakat Hukum Adat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pakar Hukum Adat Joeni Arianto Kurniawan, Ph.D., saat memberikan paparan. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Komunitas Peradilan Semu (KPS) FH UNAIR mengadakan webinar terkait perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat hukum adat pada Sabtu (25/9/2021). Salah satu narasumber yang diundang di kegiatan tersebut adalah Pakar Hukum Adat Joeni Arianto Kurniawan, Ph.D. Disitu, ia memberi catatan kritis terkait RUU Masyarakat Hukum Adat yang tak kunjung disahkan oleh DPR sebagai pemenuhan amanat konstitusi – spesifiknya pada Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.

Joeni menjelaskan bahwa unsur definisi Masyarakat Hukum Adat dalam RUU tersebut hanya mengakui masyarakat adat yang memiliki kesamaan tempat tinggal secara geografis. Padahal apabila ditilik teori Van Vollenhoven terkait jenis masyarakat adat di Indonesia (adatrecht gemeenschap), terdapat tiga jenis yakni: teritorial, genealogis, dan fungsional.

“Masyarakat adat itu tidak selalu didefinisikan dengan lokasi tempat tinggalnya saja. Contohnya masyarakat Sedulur Sikep di Jawa Tengah yang masuk ke kategori fungsional. Nilai yang mendefinisikan masyarakat tersebut ialah paham Saminisme, tetapi secara geografis mereka tinggal menyatu dengan masyarakat non-Sedulur Sikep. Kita tahu betul bahwa mereka sedang berkonflik dengan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Pembangunan tersebut mendistorsi mata air sawah mereka, padahal penganut Saminisme hanya diperbolehkan untuk bekerja sebagai petani saja,” tutur Direktur Pusat Studi Pluralisme Hukum UNAIR itu.

Rezim pengakuan tertulis dan pakem yang diatur dalam RUU Masyarakat Hukum Adat ini juga disayangkan oleh Joeni. Alhasil masyarakat adat yang tidak diakui secara tertulis, tidak dilindungi hak-haknya. Ia menganggap proses tersebut akan sangat administratif dan berbelit, mengingat pula bahwa proses pengakuannya dilakukan oleh panitia ad hoc. Nuansa kepakeman ini juga menurut Joeni merupakan kesalahan pola pikir dalam mengakui wilayah masyarakat adat karena wilayah mereka tidaklah pakem, dimana ia mengendalikannya dengan ungkapan ‘sejauh ternak kami berlari.’

“Ditambah lagi pengakuan tersebut harus dievaluasi selama beberapa tahun sekali relevansinya. Masyarakat adat dipandang sama seperti ormas. Disini juga akan terbuka ruang bahwa pengakuan tersebut tak akan diperpanjang oleh pemerintah,” tekan alumni University of Pisa itu.

Joeni mengatakan bahwa definisi hak ulayat dalam RUU Masyarakat Hukum Adat sudah cukup baik, karena eksistensi frasa ‘menguasai’ wilayah adat dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Hak ini merupakan unsur terpenting dalam rekognisi masyarakat adat, karena katanya ‘ada ulayat pada masyarakat, tidak ada ulayat tidak ada masyarakat.’ Namun, ia tetap menyinggung bahwa definisi tersebut seharusnya dapat diperluas lagi maknanya dan diperjelas lagi sinkronisasinya dengan undang-undang lain yang mengatur terkait masyarakat adat dan hak ulayatnya secara sporadik.

Terakhir, Joeni mencatatkan terkait minimnya pengaturan terkait hak atas pemerintahan adat dalam RUU tersebut. Padahal hak tersebut harus dimiliki apabila dikoherensikan dengan norma dalam United Nations Declarations of Indigenous People (UNDRIP) dan Putusan MK No. 31/PUU-V/2007.

“Masyarakat adat harus diberi otonomi untuk mengurus dan mengatur pemerintahan adatnya sendiri, biarpun beda modelnya dan normanya dengan pemerintahan yang sah di Indonesia,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan 

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp