Catatan Pendek Herlambang P. Wiratraman terkait Reforma Agraria di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pakar HAM UNAIR Dr. Herlambang P. Wiratraman memberikan mukadimah pada Seri Diskusi Negara Hukum yang digelar pada Kamis (23/4/2021). (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Pakar HAM UNAIR Dr. Herlambang P. Wiratraman memberikan mukadimah pada Seri Diskusi Negara Hukum yang digelar pada Kamis (23/4/2021) oleh LP3ES untuk memperingati Hari Tani. Tajuk yang diangkat dalam seri diskusi tersebut adalah “Kemunduran Demokrasi dan Gagalnya Reforma Agraria.” Empat narasumber dihadirkan dari berbagai institusi seperti Paguyuban Petani Jawa Timur, YLBHI, UWK Surabaya, dan Badan Riset Nasional Indonesia.

Herlambang menjelaskan bahwa problematika regresi demokrasi di masa kepemimpinan Jokowi relevan disandingkan terhadap konflik agraria dan sumber daya alam, yang akar problemanya itu acapkali hadir dari tindakan negara yang tidak demokratis. Dosen Hukum Tata Negara itu mengatakan bahwa terdapat aspek paradoksal dalam program pemerintah terkait reforma agraria.

“Di satu sisi pemerintah menggemborkan pencapaian yaitu bagi-bagi sertifikat tanah secara gratis. Di sisi lain telah banyak catatan perampasan tanah dari warga setempat untuk kepentingan pembangunan dan ekstraksi sumber daya alam. Belum lagi kita membahas politik hukum yang mendasari UU Cipta Kerja. Jadi ada gap antara kebijakan dan realita,” ujar alumni Leiden University itu.

Paradoks inilah yang menurut Herlambang dapat menggagalkan intensi reforma agraria untuk menjawab problema tenurial, yakni ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Reforma agraria hanya berjalan sebatas pengadministrasian belaka, tidak menyentuh ide redistribusi tanah. Refleksi kasus di lapangan menurut peneliti LP3ES itu jauh dari ideal reforma agraria dan konflik-konflik tersebut rentan memunculkan kekerasan, entah itu intimidasi atau kriminalisasi, dari aktor yang memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi.

“Kita ambil contoh kasus Urutsewu di Kebumen, Jawa Tengah dimana lahan pertanian harus berkonflik dengan TNI AD dan itu dipenuhi dengan kekerasan aparat militer terhadap para petani setempat. Kasus yang sama juga dapat ditemui di Pasuruan, di beberapa desa seperti Desa Sumberanyar, Desa Nguling. Konteks konfliknya disini adalah dengan TNI AL. Saya juga sempat mendengar bahwa di Pasuruan akan diupayakan relokasi paksa untuk warga desa setempat, padahal itu kan tidak mungkin karena ada sekitar sepuluh desa yang berkonflik,” papar Herlambang.

Ia menutup mukadimahnya dan melanjutkan diskusi selaku moderator dengan menekankan bahwa kegagalan reforma agraria dampaknya tidak kecil. Warga setempat akan rentan terdampak pada tidak terwujudnya kedaulatan pangan, krisis ekologi, hingga penghancuran aspek sosial dan budaya setempat.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp