Hindari Tindak Kekerasan dalam Pengasuhan Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: pexelscom

UNAIR NEWS – Dalam mengasuh anak, terkadang orang tua secara tidak sadar melakukan tindak kekerasan terhadap anak mereka. Hal ini tentu berdampak negatif terutama terhadap kondisi mental anak. Lalu, apa sajakah tindakan yang tergolong dalam kekerasan terhadap anak?

Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap anak telah diatur dalam UU Nomor 35 tahun 2014 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa “Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.”

“Kekerasan pada anak atau child abuse yaitu semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atau memiliki kuasa atas anak tersebut,” ungkap Ika Yuniar Cahyanti, M.Psi., Psikolog, salah satu dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) pada Sabtu (11/9/2021).

Pada webinar bertajuk “Pengasuhan Tanpa Kekerasan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi UNAIR itu, Ika menegaskan bahwa tindakan kekerasan pada anak biasanya dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya dapat dipercaya oleh anak tersebut. Contohnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Dosen bidang Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental ini juga menegaskan bahwa tindak kekerasan pada anak dalam jangka panjang dapat berdampak serius terhadap psikologis anak. Parahnya, hal ini juga dapat menyebabkan trauma pada anak.

“Dampak psikologis kekerasan terhadap anak antara lain penarikan diri, ketakutan, tindak agresif, emosi yang labil, depresi, cemas, merasa minder, merasa tidak berharga, dan lain sebagainya,” tutur Ika. Ia juga menjelaskan bahwa tindak kekerasan pada anak bahkan dapat menyebabkan gangguan stres pasca trauma bahkan keterlibatan dalam penggunaan zat adiktif.

Untuk menghindari tindakan kekerasan pada anak, Ika menjelaskan bahwa orang tua dapat menerapkan pola positive parenting dalam mendidik dan mengasuh anak mereka. “Positive parenting atau pengasuhan positif adalah pola asuh yang dilakukan secara suportif, konstruktif, dan menyenangkan,” jelas Ika.

“Suportif di sini adalah pemberian perlakuan yang mendukung perkembangan anak. Sedangkan, konstruktif sendiri artinya bersikap positif dengan menghindari kekerasan atau hukuman,” imbuh Ika.

Pengasuhan positif ini dapat dilakukan dari hal-hal yang sederhana seperti membiasakan menggunakan kata-kata seperti ‘tolong’, ‘maaf’, ‘salam’, ‘permisi’, dan ‘terima kasih’ kepada anak. Selain itu, orang tua juga harus memberikan contoh dan arahan yang baik pada anak mereka jika diperlukan.

“Memberikan kepercayaan anak sebagai problem solver juga efektif untuk menerapkan pola pengasuhan positif ini. Jangan lupa juga untuk mengajarkan anak tentang disiplin waktu, tanggung jawab terhadap tugas serta barang miliknya, dan norma yang berlaku di masyarakat,” tegas Ketua Unit Terapan Fakultas Psikologi UNAIR itu.

Dalam prinsip pengasuhan positif, menurut Ika hendaklah tanggung jawab pengasuhan tidak hanya dibebankan kepada sosok ibu saja. Namun, akan sangat baik jika ayah anak juga memahami pola pengasuhan ini agar dapat memberikan dampak yang lebih baik kedepannya. (*)

Penulis: Agnes Ikandani

Editor: Binti Quryatul

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp