Pakar Hukum Adat UNAIR Soroti Keadaan Masyarakat Adat di Indonesia Selama Pagebluk

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pakar Hukum Adat Joeni Arianto Kurniawan, S.H., M.A., Ph.D., diundang untuk berbincang terkait masyarakat adat selama merebaknya pagebluk COVID-19 di Indonesia. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Diskursus rekognisi masyarakat adat dalam sistem hukum Indonesia selalu menjadi perbincangan yang hangat karena masih minimnya rekognisi tersebut. Dalam seri gelar wicara Telisik Masyarakat Adat yang digelar oleh Komite Kajian Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR, pakar Hukum Adat Joeni Arianto Kurniawan, S.H., M.A., Ph.D., diundang untuk berbincang terkait masyarakat adat selama merebaknya pagebluk COVID-19 di Indonesia. Gelar wicara ini dirilis pada Rabu pagi (8/9/2021).

Joeni merupakan salah satu pakar yang getol mengadvokasikan hak-hak masyarakat adat yang salah satunya melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat, yang hingga kini tak kunjung menemui pelita pengesahannya di Senayan. Menurut Joeni ini merupakan suatu logika yang terbalik, karena masyarakat adat sudah ada terlebih dahulu sebelum Indonesia.

“Berdirinya bangsa Indonesia itu tidak bisa dipisahkan dari eksistensi lembaga-lembaga sosial masyarakat adat yang sudah ada sebelumnya. Aslinya kemerdekaan Indonesia harus mendapat pengakuan dari masyarakat adat, tetapi nyatanya Indonesia yang harus mengakui eksistensi mereka. Meskipun jaminan hukumnya di konstitusi ada, tetapi acapkali implementasinya malah mendegradasi hak-haknya mereka,” tutur alumni University of Pisa itu.

Joeni memberikan dua perspektif terkait kondisi masyarakat adat selama pagebluk. Ada yang terlindungi dari ombak krisis kesehatan tersebut karena kebudayaannya tidak membolehkan kontak dari dunia luar seperti Suku Baduy Dalam di Banten. Ada yang melanggengkan kebudayaan serupa tetapi tetap terdampak pandemi akibat intervensi paksa dari dunia luar – contohnya adalah Suku Anak Dalam di Jambi yang kehidupannya di hutan terganggu oleh aktivitas industri kelapa sawit.

“Bagi yang terganggu ini yang menjadi problema yang sangat mengkhawatirkan. Sistem kesehatan di Indonesia masih sangat tidak merata, dan penanganan pandemi di Indonesia seringkali kolaps sekalipun di daerah-daerah urban seperti Jakarta dan Surabaya. Bayangkan dampaknya seperti apa di luar Jawa dan daerah pedalaman dengan sistem kesehatan yang tidak merata dan rentan kolaps. Apalagi sistem imun masyarakat adat berkemungkinan tidak sekuat orang-orang di daerah urban karena mereka jarang terjangkit berbagai macam penyakit karena mereka tidak hidup di masyarakat yang heterogen,” tutur Direktur CleP FH UNAIR itu.

Joeni sepakat dengan ungkapan bahwa “pandemi tidak mengkorup suatu sistem, ia hanya membuka tabir sistem yang korup” untuk argumennya mengenai pemenuhan hak masyarakat adat selama pagebluk. Hal ini dikarenakan mengenai minimnya perspektif masyarakat adat dalam implementasi kebijakan pembatasan sosial yang dikeluarkan oleh pemerintah. Mayoritas mata pencaharian masyarakat adat adalah bertani, dan itu sesuatu yang sama sekali mustahil ditranslasikan dalam semesta daring ketika pemerintah menyuruh masyarakat Indonesia untuk di rumah saja. 

“Pemberlakuan PSBB dan PPKM Darurat itu kan lockdown cara murah” karena hampir nihilnya kewajiban pemerintah untuk menjamin kebutuhan dasar masyarakat, terutama masyarakat adat. Ini merupakan suatu tindakan yang sangat tidak bertanggungjawab karena yang lahir adalah hukum rimba (survival of the fittest). Pemerintah enggan memberlakukan karantina wilayah yang memang kewajiban itu eksplisit diaturnya,” jelasnya.

Joeni juga merefleksikan dampak arah gerak pemerintahan Jokowi yang developmentalis dan selalu memprioritaskan ekonomi terhadap ketimpangan distribusi vaksin ke masyarakat adat. Ia menduga bahwa penggencaran vaksinasi adalah bukan untuk pencapaian kekebalan komunal, melainkan agar aktor-aktor dalam lingkungan perekonomian dapat bekerja kembali seperti biasanya.

“Sehingga masyarakat adat yang tidak tergabung dalam lingkungan tersebut tentu tidak diprioritaskan. Padahal kunci pencapaian kekebalan komunal adalah distribusi vaksin harus masif dan merata, karena virus ini tidak pilih-pilih. Asas keadilan tidak terpakai disini karena masyarakat adat jauh lebih rentan terdampak dari krisis kesehatan ini. Itu dugaan saya,” tutup Joeni.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp