Dosen FPK Ungkap Penyebab Peningkatan Carbon Footprint di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Wahyu Isroni S.Pi., M.P, saat memberikan pemaparan. (Foto: SS Zoom).

UNAIR NEWS Berdasarkan data dari World Resource Institute (WRI) pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat 8 sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar didunia. Hal tersebut sangat miris dimana Indonesia yang dikatakan sebagai paru-paru dunia dengan kredit karbon mencapai 70-80 % total karbon juga turut menyumbang gas karbon yang besar bagi dunia.

Merespon hal tersebut, Sabtu (04/09) lalu BEM Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) melalui Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) kembali menggelar kajian untuk membahas seputar Jejak Karbon. Kajian bertajuk PSBB (Perbincangan Santai Bersama BEM FPK) tersebut menghadirkan Wahyu Isroni S.Pi., M.P, selaku Dosen FPK UNAIR. 

Mengawali pemaparannya Wahyu menjelaskan bahwa Carbon Footprint atau Jejak Karbon sendiri merupakan jumlah total gas rumah kaca (CO2 dan Metana) yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Ia mengungkapkan terjadinya pemanasan global akibat efek rumah kaca, tak lepas dari peningkatan emisi gas karbon akibat aktivitas manusia ditambah dengan terjadinya deforestasi hutan di Indonesia. 

Dirinya juga menjelaskan beberapa penyebab meningkatnya emisi gas karbon di Indonesia yang berkaitan dengan  aktivitas perikanan dan kelautan simak selengkapnya.

Deforestasi Hutan Mangrove

Wahyu menjelaskan bahwa Pohon Mangrove memiliki kemampuan yang tinggi dalam mereduksi karbon. Mangrove mampu menyerap 52,85 ton CO2/ha/tahun. Ia mengungkapkan bahwa kondisi hutan mangrove di Pulau Jawa dan Sulawesi dapat dikategorikan dalam kondisi rusak. Hal tersebut secara signifikan menurunkan resapan CO2 di Indonesia.

“Ditambah lagi saat ini penebangan hutan mangrove untuk pembukaan lahan baru bisa mencapai 52.000 hektar per tahun, tentu saja serapan CO2 di Indonesia akan menurun drastis,” ujarnya.

Hilangnya Padang Lamun

Dirinya menjelaskan, selain mangrove ekosistem estuari yang juga memiliki daya serap CO2 yang tinggi salah satunya padang lamun. Padang lamun mampu menyerap 6,59 ton C/ha/tahun dan 24,13 ton CO2/ha/tahun. Karena lamun ini berada di permukaan estuari maka potensi kerusakan padang lamun juga sangat tinggi akibat limbah dan aktivitas manusia.

“Jika mengacu pada KEPMEN LH nomor 200 tahun 2004 status padang lamun di Indonesia dikategorikan dalam kondisi Kurang Sehat,” ungkapnya.

Operasi Kapal Perikanan dan Wisata

Berdasarkan penelitian yang pernah ia lakukan, sektor wisata dan kapal perikanan juga turut memberikan sumbangsih Karbon yang cukup tinggi. Ia menjelaskan transportasi wisata, dan juga pengoprasian kapal mulai dari pemanasan hingga berlayar dapat menghasilkan karbon.

“Ditambah lagi berdasarkan data, kapal motor tempel dan kapal motor jumlahnya jika ditotal bisa mencapai 500.000 bayangkan jika dalam satu hari semua berlayar bersamaan didalam suatu wilayah, berapa karbon yang bisa dihasilkan,” ujarnya

Menipisnya Stok Perikanan 

Menipisnya stok ikan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan untuk Penangkapan Ikan (WPPN RI) membuat nelayan harus lebih jauh melaut untuk mendapatkan ikan. Hal tersebut secara langsung akan berdampak pada peningkatan emisi gas akibat motor dari kapal.

“Dari beberapa fenomena di atas kan menunjukkan bahwa penghapus jejak karbon satu persatu sudah berkurang, namun disisi lain peningkatan emisi karbon kiat meningkat, jika perilaku kita tidak segera kita ubah, ya tinggal menunggu waktu saja,” pungkasnya.

Penulis: Ivan Syahrial Abidin

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp