Asfinawati Tekankan Bahwa UU ITE itu Cacat Norma

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Asfinawati Tekankan Bahwa UU ITE itu Cacat Norma. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Ketua YLBHI Asfinawati hadir sebagai narasumber kedua pada Seminar ALSA LC UNAIR 2021 yang digelar pada Sabtu pagi (4/9/2021). Tema yang diangkat dalam kegiatan tersebut adalah Menyoal Demokrasi di Indonesia, Bagaimana Keberlangsungan Hak Kebebasan Berekspresi dan Informasi dalam Ruang Digital?”

Asfin menekankan pada awal materinya bahwa penegakan hukum UU ITE itu problematik dan diskriminatif. Menurutnya, hal ini tentu menjadi konsekuensi logis kecacatan norma dari produk hukum itu sendiri. 

Beberapa kecacatan yang ia paparkan adalah pergeseran makna hate speech yang salah kaprah. Ia menjelaskan bahwa makna asli dari hate speech itu merupakan advokasi kebencian terhadap suatu orang atau kelompok yang berbasis SARA, gender, nasionalitas, dan lain-lain. Sementara di Indonesia, makna hate speech sangatlah luas. Penghinaan, pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong itu dikategorikan sebagai hate speech. Menurut Asfin, pergeseran makna ini dapat mengubah tujuan pengaturan hate speech dari alat pelindung korban menjadi alat kriminalisasi. 

“Seperti yang dicontohkan dalam perbuatan polisi virtual yang memperingatkan suatu akun Instagram yang habis melontarkan komentar yang menghina di akun Nissa Sabyan. Komentar yang mengandung kata ‘anjing’ itu dianggap oleh kepolisian sebagai bentuk ujaran kebencian menurut Pasal 27(3) UU ITE. Ini malah menjadi bentuk penyempitan ruang sipil karena peringatan itu diberikan tanpa ada pelaporan, jadi kesannya polisi mengawasi kita semua. Dalil pidana sebagai ultimum remidium menjadi salah kaprah sekalipun itu sekadar peringatan,” ujar alumni UI itu.

Untuk mengatakan bahwa kesalahan UU ITE itu terletak pada penegakan hukumnya menurut Asfin itu tidak masuk akal. Apabila merefleksikan pada kasus Saiful Mahdi yang divonis 3 bulan karena mengkritik universitas di tahap kasasi, semua elemen penegakan hukum melakukan kesalahan secara berjamaah – dari Kepolisian, Kejaksaan Agung, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung. Menurutnya, kesalahan tersebut terletak pada norma hukumnya, sehingga urgensi sekali untuk segera direvisi.

“Contoh kecacatan lain UU ITE adalah Pasal 27 ayat (1) dimana korban kekerasan seksual seperti revenge porn dapat dipenjara karena dianggap turut menyebarkan muatan yang melanggar kesusilaan. Ini ngaco. Penodaan agama juga dapat terjerat UU ITE dan dengan pasal atau kombinasi pasal yang berbeda-beda, sehingga hukum pidana menjadi lentur dan salah kaprah disini. Hate speech jadi penodaan agama, lagu religi diplesetkan menjadi penodaan agama,” tutur mantan Ketua LBH Jakarta itu.

Asfin mencatatkan bahwa penegakan hukum UU ITE ini diskriminatif dan cenderung kuat unsur politisnya. Kasus peretasan Ravio Patra lambat penanganannya dan bahkan sempat ditangkap oleh polisi karena dianggap menyulut kerusuhan padahal akunnya diretas. Akademisi yang menolak revisi UU KPK pada 2019 silam juga diretas tetapi tak pernah ada intervensi hukum disana. Hilangnya produk pemberitaan Tempo.co dan Tirto.id terkait kontroversi obat COVID-19 juga tidak pernah diproses.

“Tetapi kasus Ramdan Yantu yang meretas website Polri untuk mengkritik penanganan kasus Novel Baswedan langsung gercep penanganannya, dalam satu tahun sudah dapat memasuki tahap persidangan. Kasus doxxing terhadap Denny Siregar juga dapat ditangkap pelakunya dalam waktu satu hari saja. Belum lagi apalagi kita membahas saat Jokowi memesan obat klorokuin yang digadang dapat menyembuhkan COVID-19, padahal itu tidak benar. Namun, Kominfo sampai meralat cap hoax terkait disinformasi tersebut. Tentu saja kami tidak setuju apabila Jokowi diproses terkait penyebaran berita bohong, namun ini cerminan diskriminasi,” papar Asfin.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp