Radikalisasi Remaja dan Program Deradikalisasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh kaskus.co.id

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang konteks di mana remaja direkrut dan diradikalisasi oleh kelompok teroris. Penelitian ini bertujuan untuk memahami mengapa kelompok-kelompok ini tampaknya menargetkan kaum muda atau remaja, serta untuk mengidentifikasi pendekatan dan taktik yang digunakan untuk merekrut dan meradikalisasi kaum muda. Berbagai cara di mana kelompok teroris menarik audiens muda mereka juga dibahas. Selain itu, penelitian ini juga mencakup beberapa inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi meningkatnya jumlah pemuda usia sekolah yang terlibat terorisme.

Penelitian ini menggunakan studi kasus remaja pelaku teroris yang terbukti melakukan tindak pidana terorisme di Toli Toli, Sulawesi Tengah. Pada Maret 2017, Densus 88 menangkap sembilan terduga teroris. Polisi menemukan dan menyita paket-paket bahan untuk membuat bahan peledak/bom rakitan, seperti alkohol denaturasi, pupuk KNO3, arang, belerang, paku, dan tabung gas. Mereka membuat dan menanam bom rakitan sebagai bagian dari rencana penyerangan Polres Toli Toli (Sitompul, 2017). Grup tersebut tidak memiliki koneksi ke jaringan lama di Sulawesi, yaitu Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Polisi berhasil mengungkap bahwa kelompok tersebut baru dan berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok baru ini telah bersumpah setia kepada ISIS, dan sembilan orang yang ditangkap itu mengikuti ISIS melalui seorang guru agama bernama Basri yang tinggal di Toli Toli. Dua dari sembilan adalah pemuda usia sekolah, baru berusia enam belas dan tujuh belas tahun. Keduanya dijatuhi hukuman satu tahun penjara karena keterlibatan mereka, termasuk membeli dan menerima bahan yang akan digunakan untuk membuat bom, serta menghadiri beberapa pertemuan untuk merencanakan serangan.

Wawancara mendalam dilakukan dengan dua pemuda ini, yang saat ini menjalani hukuman satu tahun di Rumah Tahanan (SDC) Salemba, Jakarta Pusat. Untuk informasi tambahan dan untuk memperkaya analisis, wawancara juga dilakukan dengan dua mantan jihadis dewasa yang memiliki pengalaman sebagai “ideolog”, serta menjadi perekrut organisasi teroris Jama’ah Islamiyyah. Wawancara juga dilakukan dengan petugas pemasyarakatan (Lapas) Kelas II-A Lapas Salemba, Jakarta Pusat; dua orang anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI); dan dua anggota Yayasan Prasasti yang melakukan penelitian dan kajian terkait perdamaian dan konflik, kekerasan politik, terorisme dan kejahatan transnasional. Wawancara dilakukan terutama untuk mengungkap proses radikalisasi remaja usia sekolah, serta untuk mengeksplorasi rute atau jalur yang akhirnya mereka gunakan untuk bergabung dengan kelompok teror dan terlibat dalam aktivitas teroris.

Kajian ini menyimpulkan bahwa anggapan bahwa pemuda usia sekolah sengaja dipilih, dipersiapkan dan dikembangkan melalui jaringan teror, untuk menjalankan rencana teror, tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Studi ini menemukan bahwa tidak ada bukti bahwa kekerasan digunakan ketika merekrut remaja usia sekolah.

Motivasi untuk bergabung dengan kelompok teroris mencakup pencarian koneksi pribadi, daya tarik ideologis kelompok, dan keluhan politik. Sebelum kaum muda terpapar ideologi dan sosialisasi nilai-nilai ekstrem, ada proses pembentukan persepsi ketidakadilan dan ketidakadilan. Mereka juga mengalami proses pembentukan legitimasi dan pembenaran atas tindakan mereka untuk melakukan kekerasan dengan mencarinya melalui sumber-sumber yang sah. Radikalisasi online tetap sangat penting dalam memperkuat pemikiran ekstrem.

Program deradikalisasi melalui Klinik Pancasila telah gagal untuk deradikalisasi pemuda yang terlibat dalam kegiatan teroris. Program ini menggunakan pendekatan otoritatif untuk menyoroti kesalahpahaman ideologis, tetapi dialog atau debat langsung yang mencoba membujuk telah menghadapi perlawanan keras. Dengan demikian, program deradikalisasi pemerintah berbasis penjara dan aktif memiliki risiko kegagalan yang lebih tinggi dan tingkat residivisme yang lebih tinggi.

Lebih lanjut, tantangan yang paling nyata dalam melaksanakan program deradikalisasi berbasis Lapas terkait dengan krisis umum Lapas di Indonesia, seperti program rehabilitasi narapidana yang tidak memadai, kepadatan penghuni, dan kurangnya dana untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas petugas Lapas untuk memberikan layanan pasca perawatan yang bermakna. Isu-isu ini sangat mendesak ketika berhadapan dengan narapidana yang menjalani hukuman terorisme dan telah mempengaruhi program deradikalisasi berbasis penjara yang dilaksanakan oleh BNPT. Dalam hal ini, masih banyak “pekerjaan rumah” yang belum selesai bagi pemerintah Indonesia dalam menangani keterlibatan pemuda usia sekolah dalam terorisme.

Kajian ini merekomendasikan agar koordinasi antara BNPT dan Lapas perlu ditingkatkan dalam upaya merehabilitasi dan deradikalisasi pemuda yang terlibat dalam kegiatan teroris. Program deradikalisasi berbasis penjara seharusnya hanya terfokus pada pencapaian tujuan untuk melepaskan kaum muda dari kelompok-kelompok ekstremis dan kembali terlibat dalam kehidupan yang harmonis. Mengingat para pelaku terorisme merupakan perlawanan terhadap instansi terkait pemerintah, maka dalam melaksanakan program deradikalisasi, BNPT juga harus melibatkan banyak pemangku kepentingan (yaitu organisasi masyarakat sipil). Diperlukan program peningkatan kapasitas bagi petugas Lapas dalam menjalankan tugasnya mengawasi para terpidana teroris. Peningkatan kapasitas ini mencakup peningkatan pemahaman dan pengetahuan mereka tentang radikalisme dan strategi kontra-narasi radikalisme.

Penulis: Amira Paripurna

Link Artikel: http://www.sascv.org/ijcjs/pdfs/AmiraetalVol16ssue1IJCJS.pdf

Judul: Pathway of School-Age Youth into Violent Extremist Activity and the De-Radicalisation Programme in Indonesia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp