Sampai Sejauh Mana Perkembangan Terapi Pengendalian Sistem Imun untuk COVID-19?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Business Insider

Pandemi COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 150 juta jiwa pada tahun pertama dan menyebabkan lebih dari 3 juta kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2021, angka kesakitan akibat penyakit ini semakin meningkat, bahkan memicu timbulnya gelombang infeksi kedua dan ketiga di beberapa negara. Pada pasien dengan risiko tinggi, infeksi ini dapat menyebabkan gagal napas akut, kegagalan multiorgan, bahkan kematian. Oleh karena itu, pengembangan terapi COVID-19 yang aman dan efektif sangat diperlukan untuk mencegah kematian dan komplikasi penyakit ini.

Pengembangan terapi penyakit ini masih banyak menemui tantangan. Beberapa obat yang terbukti efektif pada uji klinis skala kecil justru menunjukkan hasil yang kurang efektif pada uji klinis skala besar, sebagai contoh pada kasus obat anti malaria klorokuin, antibiotik azithromycin, antiparasit ivermectin, dan antivirus favipravir.

Dikarenakan COVID-19 merupakan penyakit yang baru, kita memiliki tantangan dalam memahami mekanisme kerja dari penyakit ini. Beberapa sumber yang ada menunjukkan keterlibatan mediator keradangan terhadap badai sitokin, kegagalan multiorgan, dan perburukan COVID-19. Hal ini yang mendasari teori supresi sistem imun pada COVID-19. Di sisi lain, pasien COVID-19 dengan kelemahan sistem imun justru menunjukkan komorbiditas, perburukan, dan angka kematian yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan risiko penekanan sistem imun pada COVID-19.

Kami telah merangkum perkembangan terapi pengendalian imun untuk COVID-19, baik terapi supresi sistem imun (Kortikosteroids, inhibitor interleukin (IL)-1/IL-6, dan inhibitor kinase) serta penguat sistem imun (interferon alpha (IFNα), interferon beta (IFNβ), non-SARS-CoV-2 specific immunoglobulin, dan plasma konvalesen).

Hiperaktivasi sistem imun akibat pelepasan sitokin keradangan dapat memperparah infeksi virus ini. Oleh karena itu, penekanan sistem imun oleh agen seperti kortikosteroid dapat mengendalikan respon keradangan yang berlebihan. Selain itu, kortikosteroid juga dapat menekan replikasi SARS-CoV2, virus penyebab COVID-19. Banyak uji klinis besar yang melibatkan ribuan partisipan menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid dapat menurunkan kematian pasien COVID-19 derajat berat dibanding dengan perawatan standar atau placebo. Akan tetapi, pada pasien dengan COVID-19 derajat ringan, terapi kortikosteroid justru menunjukkan perburukan klinis dan memperpanjang waktu perawatan.

Terapi penekan sistem imun lainnya, yaitu inhibitor interleukin, seringkali diresepkan pada penyakit autoimun dan kondisi peradangan lain. Pada beberapa studi, tocilizumab (inhibitor IL-6)  dapat meningkatkan harapan hidup dan menurunkan angka kematian pada pasien COVID-19 derajat berat yang memerlukan bantuan pernapasan. Akan tetapi, pada studi yang mengambil sampel pasien COVID-19 selain derajat berat, tidak didapatkan efek yang bagus dari obat ini.

Selain penekanan sistem imun, penguat sistem imun juga dapat diharapkan mengembalikan keseimbangan sistem imun pada pasien COVID-19. Contoh dari terapi jenis ini adalah interferon (IFN).  Pemberian terapi interferon pada beberapa penelitian dapat menekan replikasi virus, menurunkan peradangan sistemik, mempercepat penyembuhan pasien, serta menurunkan angka kematian. Akan tetapi, pada uji klinis WHO obat ini menunjukkan efek yang tidak bermakna. Penelitian lain menunjukkan bahwa perbedaan fase penyakit dapat mempengaruhi, dimana pasien COVID berat memiliki respon terhadap IFN yang lebih kuat dibandingkan pada fase awal penyakit. Terapi lain adalah plasma konvalesen dengan memberikan kekebalan pasif terhadap COVID-19 dengan mentransfer antibodi dari orang yang sudah sembuh, akan tetapi hasilnya masih kontroversial dan menunjukkan kemungkinan manfaat pada kondisi tertentu, misal pada pasien COVID-19 dengan keganasan atau kekurangan sel B. Terapi immunoglobulin intravena non SARS-CoV2 juga menunjukkan hasil yang kontroversial dan dikatakan lebih efektif bila diberikan pada pasien tanpa komorbiditas pada awal fase penyakit.

Dari berbagai studi yang ada, dapat disimpulkan bahwa fase penyakit COVID-19 menjadi kunci untuk menentukan pilihan terapi mana yang paling efektif. Berbagai uji klinis yang ada menunjukkan bahwa baik jenis obat-obatan penekan sistem imun atau penguat sistem imun bersifat efektif pada kondisi pasien COVID-19 yang berat atau kritis, sedangkan pada COVID-19 yang ringan, terapi pengendalian sistem imun justru memberikan efek yang lebih buruk atau tidak signifikan. Rekomendasi WHO juga menyarankan pemberian kortikosteroid sistemik (contohnya dexamethasone, hidrokortison, atau prednisone) pada pasien COVID-19 berat, baik diminum atau disuntikkan, sedangkan pada pasien COVID-19 derajat ringan, WHO tidak menyarankan penggunaan kortikosteroid kecuali pasien sudah meminum obat jenis ini sebelumnya untuk penyakit lain yang memang sudah ada pada pasien tersebut. Hal ini dikarenakan pada pasien COVID-19 berat/kritis, terjadi kondisi peradangan berlebihan dengan badai sitokin. Pada kondisi tersebut, hambatan terhadap sitokin peradangan dapat menekan peradangan yang ada dan pengendalian sistem imun dapat mengembalikan keseimbangan sistem imun tubuh. Akan tetapi, Ketika obat pengendali sistem imun ini diberikan lebih awal, hambatan terhadap sistem imun dapat mencegah pertahanan tubuh terhadap virus. Maka dari itu, sangat penting sekali bagi para klinisi untuk merancang terapi sesuai fase COVID-19 yang dihadapi pasien. Sebagai contoh, sebaiknya dokter memberikan remdesivir pada fase awal penyakit, sedangkan dexametason sebaiknya diberikan pada fase lanjut.

Selain terapi pengendalian sistem imun yang sudah diketahui, terdapat beberapa terapi baru yang masih dalam pengembangan, antara lain inhibitor tumor necrosis factor (TNF)-α, inhibitor retinoic acid inducible gene I-like receptor (RLR) dan mTOR, inhibitor NLRP3 inflammasome, inhibitor komplemen, modulator toll-like receptor (TLR), inhibitor IL-18, serta terapi sel punca sekretom. Walaupun demikian, berbagai modalitas terapi tersebut masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut agar memberikan dasar yang kuat untuk digunakan sebagai terapi utama pada pasien COVID-19. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk menilai efektivitas modalitas berbagai terapi pengendalian sistem imun yang ada pada berbagai varian baru SARS-CoV2, dimana beberapa varian yang ada telah diketahui dapat menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi dan diduga bisa meloloskan diri dari sistem imun tubuh.

Penulis: Citrawati Dyah Kencono Wungu

Artikel lengkap dapat dibaca di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34321903/

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp