Kerjasama Terbatas Rusia-Tiongkok: Sebuah Problem Identitas?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh tomorrowsworld.org

Semakin eratnya hubungan antara Rusia dengan Tiongkok, terutama sesudah krisis di Ukraina dan Semenanjung Krimea pada tahun 2014, telah menjadi salah satu bahasan utama para politisi dan pemimpin negara di dunia. Presiden Rusia Vladimir Putin sering sekali mengatakan bahwa hubungan dengan Tiongkok telah sampai di tahap historis, yang belum pernah tercapai sebelumnya. Para peneliti juga telah banyak yang menelaah bahwa kerjasama ini melingkupi bidang energi, integrasi ekonomi di kawasan Eurasia (melalui Eurasian Economic Union dan Belt and Road Initiative), kerjasama militer, maupun sebagai upaya untuk menantang dominasi Amerika Serikat dalam tatanan global. Persoalannya, selama ini Rusia selalu dianggap sebagai negara dengan identitas “Eropa” dan bahwa hubungan dengan Tiongkok, yang notabene adalah bagian dari tradisi “Asia”, akan menguatkan kembali debat panjang mengenai identitas negara dan keterkaitan dengan pilihan kebijakan luar negerinya.

Dalam tulisan terbarunya, Radityo Dharmaputra menelaah secara mendalam bagaimana narasi identitas negara Rusia yang dimunculkan oleh elit pemerintahan dan kaitan eratnya dengan kerjasama serta hubungan Rusia-Tiongkok ternyata memiliki beberapa karakteristik khusus. Yang pertama, bahwa ada pergeseran gradual yang terjadi dalam struktur wacana identitas Rusia, sebelum dan sesudah krisis 2014. Hal ini menunjukkan bahwa struktur identitas tidaklah bersifat sangat statis. Ia bisa berubah, walaupun perubahannya tidak secarra drastis melainkan secara perlahan dan gradual. Kedua, narasi identitas berkaitan erat dengan batasan-batasan yang diberikan pada pilihan kebijakan. Bila narasinya menganggap Tiongkok adalah ancaman, maka pilihan kebijakan yang bisa diambil untuk mempererat kerjasama militer tentu tidak bisa sangat intensif. Begitu juga sebaliknya, jika narasi yang muncul adalah narasi pertemanan, maka sangat sulit untuk lantas mengedepankan konflik maupun pernyataan yang keras. Karakteristik ketiga adalah, walaupun batasan yang diberikan oleh struktur wacana identitas memang mampu menghambat peluang peningkatan kerjasama Rusia-Tiongkok sebelum 2014, namun krisis eksternal yang terjadi memaksa pemerintahan Rusia, mau tidak mau, untuk meningkatkan kerjasama. Dampaknya, struktur wacana yang ada juga mampu berubah perlahan, ditandai dengan perubahan narasi terkait pertemanan maupun ancaman.

Narasi identitas Rusia terkait Tiongkok sebelum krisis 2014 terkonsentrasi pada dua tema utama, yaitu perbedaan antara Rusia sebagai bangsa Eropa dan Tiongkok sebagai Asia, serta pada tema mengenai aspek kepercayaan dan kaitannya dengan posisi Tiongkok sebagai ancaman atau teman. Rusia, sebelum 2014, masih menekankan pada posisinya sebagai negara dengan tradisi Eropa yang berbeda dengan Asia. Walaupun begitu, sudah mulai muncul narasi penanding yang menawarkan posisi Rusia sebagai bangsa Eurasia yang berdiri di antara Eropa dan Asia. Dalam konteks teman/lawan, di tengah sejarah konflik perbatasan dan narasi ancaman dari migrasi warga Tiongkok, konsep “kepercayaan” terus dimunculkan oleh para elit sebagai upaya menunjukkan bahwa Tiongkok sudah bukan lagi ancaman. Namun, masih ada keengganan untuk menganggap Rusia sebagai teman baik. Dampaknya, kebijakan kerjasama yang dihasilkan masih terbatas pada aspek ekonomi, dan itupun masih hanya di permukaan saja. Belum lagi, mitra utama kerjasama Rusia masihlah negara-negara di Eropa, baik dalam konteks ekonomi maupun energi.

Karena Krisis Ukraina dan Semenanjung Krimea yang berujung pada referendum di Krimea pada 16 Maret 2014, maka pemerintah Rusia dipaksa mengubah kebijakannya dengan cara mendekati Tiongkok secara lebih agresif. Misalnya, pada bulan Mei 2014, telah disepakati perjanjian penjualan gas senilai USD400 milyar, yang sebelumnya telah tertunda dan terancam batal setelah negosiasi yang sulit selama bertahun-tahun. Begitu juga dengan keputusan mendadak untuk menyetujui penjualan pesawat Sukhoi Su-35, yang sebelumnya begitu enggan untuk dilakukan Rusia. Negosiasi yang sebelumnya tertahan nyatanya menjadi dipercepat dan selesai dalam waktu singkat, menunjukkan bagaimana pemerintah Rusia mengubah kebijakannya secara drastis akibat banyaknya sanksi dari negara-negara Eropa.

Dampaknya, struktur wacana Rusia terkait Tiongkok juga berubah. Rusia tidak lagi selalu menggarisbawahi perbedaan Eropa/Asia, namun mulai secara konsisten menunjukkan narasi mereka sebagai bangsa Eurasia. Selain itu, argumen bahwa “Tiongkok bukanlah ancaman” juga bergeser menjadi “Tiongkok adalah teman yang bisa dipercaya.” Pergeseran ini adalah kunci utama, mengingat Tiongkok sebelumnya selalu dipersepsikan sebagai ancaman, baik melalui kekuatan ekonominya maupun melalui kemungkinan invasi migran asal Tiongkok ke kawasan Timur Jauh Rusia. Selain itu, pemerintah Rusia juga mulai menekankan adanya identitas bersama, baik dalam bentuk sejarah sebagai korban Perang Dunia II maupun  sebagai korban falsifikasi sejarah yang sekarang sering dilakukan oleh Barat.

Pergeseran struktur ini, walaupun belum secara drastis mengubah kebijakan praktis dari pemerintah Rusia, namun memberikan peluang kerjasama yang lebih erat di masa mendatang. Tentunya ada pelajaran berharga dalam konteks keindonesiaan dan kajian mengenai politik luar negeri secara umum. Wacana mengenai identitas bangsa dan kaitannya dengan bangsa lain selalu memengaruhi (dan dipengaruhi oleh) kebijakan praktis yang dilakukan oleh negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, tentu menarik ke depannya untuk melihat sejauh mana narasi mengenai sejarah komunisme memengaruhi bagaimana kebijakan Indonesia terhadap Rusia dan Tiongkok. 

Penulis: Radityo Dharmaputra

Informasi detail dapat dilihat pada tulisan saya di:

https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15387216.2021.1944248?journalCode=rege20

Radityo Dharmaputra (2021). Limited at best? Changing discourses on China in Russia’s identity structure before and after the 2014 crisis. Eurasian Geography and Economics. http://dx.doi.org/10.1080/15387216.2021.1944248

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp