Peran Chemical Shift Magnetic Resonance Imaging untuk Membedakan Lesi Vertebra Jinak dan Ganas

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Daily Express

Morfologi vertebra dan perubahan sumsum tulang pada vertebra terjadi karena proses jinak seperti infeksi atau proses maligna, dimana keduanya memiliki perbedaan penanganan yang signifikan. Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas pencitraan yang sangat baik untuk mengevaluasi kelainan tulang belakang karena sensitivitasnya yang tinggi dalam mendeteksi perubahan komponen lemak dan air dari medula tulang, cakram intervertebralis, sumsum tulang belakang dan jaringan sekitarnya. Chemical shift MRI (CSMRI) bersifat non-invasif, tidak memerlukan kontras yang dapat membahayakan fungsi ginjal, spesifik dalam menilai sumsum tulang, dapat dilakukan setelah pembentukan citra (post processing), dan mampu menentukan proporsi air. dan kandungan lemak dalam voxel jaringan pada tingkat molekuler.

Pergeseran proporsi lemak dan cairan akan mempengaruhi intensitas sinyal sumsum tulang pada rangkaian CSMRI, dimana perubahan ini akan dinilai menggunakan rasio intensitas sinyal (SIR) yang diperoleh dengan membandingkan intensitas sinyal (SI) pada fase lawan dibandingkan dengan fase infase. Jika fasa lawan tidak menunjukkan citra sinyal drop seperti pada tulang normal, maka akan meningkatkan nilai SIR. Pada proses jinak, akan terjadi perubahan sumsum tulang yang tidak lengkap sehingga peningkatan nilai SIR lebih rendah dibandingkan dengan proses keganasan.

Metode dan Hasil

Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dimana data klinis dan pencitraan diambil dari rekam medis pasien dan pemeriksaan MRI dari MRI 3T RS Dr. Soetomo yang menggunakan urutan pencitraan CSMRI. Pengambilan data dilakukan antara bulan Maret dan September 2020. Sebanyak 23 sampel untuk kelompok ganas dimasukkan dan terdiri dari pasien dengan berbagai jenis keganasan dengan metastasis vertebrata dari kanker serviks (n=1), kanker paru-paru (n=1), kanker pankreas (n=1), kanker sinonasal (n=2), kanker tiroid (n=1), dan kanker payudara (n=5), kanker ginjal (n=2), kanker timus (n=3), dan limfoma maligna non-Hodgkin primer (n=7). Semua pasien didiagnosis berdasarkan riwayat pemeriksaan histopatologi dan/atau MRI. Pada kelompok jinak, 23 pasien dimasukkan karena infeksi (n=22) dan hemangioma (n=1), yang didiagnosis menggunakan MR konvensional dengan kontras dan lanjutan. Gambar MRI normal digunakan sebagai kontrol.

Semua pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan 3 Tesla IMR, Siemens Magnetom Skyra. Protokol MRI terdiri dari bidang sagital, koronal dan aksial dari urutan T1W, T2W dan short tau inversion recovery (STIR). Pemeriksaan urutan ini diperoleh menggunakan bidang sagital dengan parameter sebagai berikut pada 3T: inphase TR / TE 120/2.52, fase lawan TR / TE 120 / 1.3, ketebalan irisan 4 mm, celah 1 mm, sudut balik 0 derajat, bidang pandang ( FOV) 450 mm2.

Sebanyak 46 sampel dimasukkan, 23 sampel jinak dan 23 sampel ganas. Selain itu, 20 sampel kontrol juga dimasukkan sebagai pembanding. Karakteristik morfologi pencitraan MRI vertebrata dari kedua kelompok (jinak dan ganas). Pencitraan MRI pasien dari kelompok jinak yang ditandai dengan segmen multipel (48%), peningkatan kontras tepi (46%), abses paraspinal (46%) , dan keterlibatan ruang disk (43%). Kelompok ganas didominasi oleh keterlibatan pedikel dan kolumna posterior (48%), peningkatan kontras yang heterogen (41%), lesi skip (41%), dan segmen multipel (41%). Keterlibatan pedikel dan kolumna posterior lebih banyak terjadi pada lesi ganas dibandingkan dengan lesi vertebrata jinak.

Intensitas sinyal pada T1W, fase lawan dan infase pada kelompok jinak dan ganas dibandingkan. Intensitas sinyal pada T1W, infase dan pada fase berlawanan normal dari semua pasien dari kelompok kontrol. Di T1W, kedua kelompok jinak dan ganas memiliki dominasi sinyal yang sama, masing-masing 39% dan 30% hipointens. Pada fase lawan terdapat perbedaan dominasi antara jinak dan ganas dimana pada kelompok jinak 43% hiperintens ringan sedangkan 41% sinyal hiperintens pada kelompok ganas. Pada fase, 30% dan 37% sampel dari kelompok jinak dan ganas berturut-turut adalah hipointens; 17% dan 33% sedikit hypointense, masing-masing.

Pemeriksaan MRI dianggap modalitas yang baik untuk mengevaluasi sumsum tulang dan untuk membedakan lesi jinak dan ganas dibandingkan dengan biopsi. Sebuah studi menemukan bahwa akurasi MRI adalah sekitar 75% bila dibandingkan dengan biopsi sekitar 80-90%.5 Namun, karena kesulitan dalam aksesibilitas lesi selama biopsi, MRI kadang-kadang lebih disukai. Dalam penelitian ini, peran CSMRI dinilai sebagai pemeriksaan alternatif untuk mendiagnosis lesi jinak dan ganas pada vertebrata. Data kami menunjukkan bahwa nilai intensitas sinyal fase berlawanan dan SIR CSMRI berbeda antara lesi vertebra jinak dan ganas.

Penulis: Dr. Rosy Setiawati, dr., Sp.Rad(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://medicopublication.com/index.php/ijfmt/article/view/16008

Yushaniaty Tottong, Rosy Setiawati, Paulus Rahardjo. The Role of Chemical Shift Magnetic Resonance Imaging (SCMRI) to Differentiate Benign and Malignant Vertebral Lesions (Volume: 15, Issue: 3)

https://doi.org/10.37506/ijfmt.v15i3.16008

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp