BEM UNAIR Ajak Mahasiswa Peduli Isu Kekerasan Seksual

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pemaparan materi oleh staf khusus Kementerian P3A, dalam webinar KADKG. (Foto: Dokumen Pribadi)

UNAIR NEWS – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga (BEM UNAIR) melalui Komisi Anti Diskriminasi dan Kekerasan Gender (KADG), gelar webinar bertajuk Darurat Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Indonesia. Melalui platform Zoom, webinar digelar dalam jaringan pada Sabtu (14/08/2021). 

Sebagai salah satu pembicara, hadir Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, M. A. Staf khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tersebut, mengatakan bahwa perkawinan anak menjadi sumber utama kekerasan seksual. Mirisnya, angka perkawinan anak di Indonesia justru masih terbilang tinggi.  

“Perkawinan anak begitu banyak terjadi karena praktik pemahaman budaya yang masih percaya bahwa perempuan kalau sudah akil baligh dianggap sudah dewasa. Padahal kemampuan psikologis dia untuk mengambil keputusan dan memimpin atau membina rumah tangga belum siap, tapi seringkali sudah dinikahkan. Sehingga di sinilah perkawinan anak menjadi ancaman pada perempuan atau anak-anak perempuan untuk mengalami kekerasan,” jelas Dra. Gusti

Selain perkawinan anak, terdapat juga beberapa faktor lain yang menjadi pemicu kekerasan seksual. Dipaparkan oleh Dra. Gusti, faktor-faktor tersebut meliputi kekerasan gender berbasis online (KBGO), pekerja anak, faktor ekonomi, dan faktor sosial-psikologi. 

Terkait korban dan pelaku kekerasan seksual, mayoritas berada pada rentang usia 19 sampai 29 tahun. Data tersebut sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad Isnur, selaku Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pelaku yang paling banyak yakni dari kalangan mahasiswa. 

Fungsi Baru Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A)

Menanggapi maraknya fenomena kekerasan seksual, Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) memiliki dua fungsi baru. Fungsi tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2020 pasal 3 huruf (d dan e). Keduanya, yakni berupa penyediaan layanan.

Sebagaimana ditulis oleh Dra. Gusti, bahwa penyediaan layanan Kementerian P3A yakni berupa rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional. Selain itu, penyediaan layanan juga ditujukan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus dan koordinasi tingkat nasional dan internasional. 

Mengenai kriteria teknis korban yang akan ditangani Kementerian P3A, yakni 1) perempuan korban kekerasan berbasis gender dalam berbagai bentuk, 2) perempuan korban kekerasan secara massal dan/atau mengalami ancaman, 3) perempuan dalam kondisi khusus (usia lanjut atau disabilitas), 4) korban warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Terkait dengan proses pengaduan, korban bisa menghubungi nomor hotline 129 atau aplikasi WhatsApp di nomor 08111.129.129.

Upaya Lembaga Advokasi Perempuan

Selain Dra. Gusti, Afrintina, S. H selaku konselor-advokat Lembaga Advokasi Perempuan, DAMAR juga menjelaskan bahwa proses pendampingan korban kekerasan seksual dilakukan melalui dua cara, litigasi dan non-litigasi. Proses litigasi, yakni melibatkan aparat penegak hukum. Sedangkan non-litigasi yakni pendampingan melalui konsultasi hukum, konseling dengan konselor atau psikolog, serta rujukan ke lembaga-lembaga layanan. 

Terakhir, Luthfia Anindya selaku Ketua KADKG, mengajak kita semua untuk turut membangun perhatian terhadap kasus kekerasan seksual. “Mari bersama-sama membangun awareness dan saling mengedukasi terkait isu kekerasan seksual, guna mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berkeadilan gender dan inklusif bagi seluruh warganya,” pungkas mahasiswi angkatan 2017 tersebut.

Penulis: Fauzia Gadis Widyanti

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp