Suara Rakyat Desa Wadas: Kelestarian Tanah yang Diterabas, Hak Asasi Manusia yang Ditindas

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Gempadewa dan Wadon Wadas yang sedang melakukan demonstrasi menolak pertambangan batu andesit di Bukit Wadas untuk pembangunan PSN Bendungan Bener. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Kehidupan warga Desa Wadas di Purworejo, Jawa Tengah kini sedang terusik oleh lahan perkebunan di Bukit Wadas akan dirusak karena efek pembangunan pemerintah. Lahan perkebunannya di bukit tersebut sudah merupakan sumber penghidupan desa agraris itu selama turun-temurun, dengan omset hasil panennya bisa mencapai milyaran rupiah. Lebih dari 90% pendapatan warga desa tersebut bersumber pada lahan perkebunan di Bukit Wadas. Namun sejak tahun 2013, mulai muncul wacana bahwa di Bukit Wadas akan dilakukan aktivitas pertambangan karena kandungan perut bukit tersebut kaya akan batu andesit. Tentu saja, warga Desa Wadas menolak keras penambangan tersebut.

Namun pada tahun 2018, amdal untuk pertambangan batu andesit di bukit tersebut dikeluarkan oleh Pemprov Jawa Tengah. Rencananya, pertambangan itu diperlukan untuk menyukseskan Program Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener, yang jaraknya sekitar 10 km dari Bukit Wadas. Bendungan yang digadang-gadang sebagai bendungan tertinggi di Indonesia direncanakan untuk menyokong rencana pemerintah untuk membuat aerotropolis di Kulon Progo, dengan Bandara YIA sebagai sentralnya.

Dalam webinar yang digelar oleh Amnesty International Indonesia (AII) Chapter UNAIR dan BEM FH UNAIR, beberapa warga Desa Wadas yang tergabung dalam kelompok advokasi Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) untuk menceritakan pengalaman dan perkembangan dari konflik tersebut. Azim, salah satu warga, menjelaskan bahwa Desa Wadas akan tetap teguh menolak aktivitas pertambangan sekalipun berapa jumlah ganti rugi yang ditawarkan pemerintah.

“Kalau kami punya lahannya, kami bisa menghasilkan sebanyak yang kami mau. Kalau lahan itu hilang dan kami dikasih uang, kita bisa menikmati hasilnya dalam waktu terbatas saja. Ini bukan soal uang, ini soal keutuhan desa yang ingin kami jaga,” ujarnya.

Azim juga mengatakan bahwa diperkirakan sekitar 28 mata air warga desa yang dapat hilang akibat aktivitas pertambangan batu. Ia mengesankan bahwa kehadiran pemerintah di Desa Wadas katanya adalah untuk mensejahterakan rakyat setempat, namun ia dan Gempadewa menolak keras pola pikir tersebut.

“Kita disini sudah sejahtera, sejahtera seperti apa yang dimaksud pemerintah? Apakah bisa mengganti pekerjaan petani menjadi pekerja kantoran itu disebut mensejahterakan?” keluhnya.

Selama pagebluk COVID-19 merebak, penolakan Gempadewa seakan tidak digubris karena terdapat perkembangan aktivitas pertambangan batu andesit itu. Izin Penetapan Lokasi (IPL) tambang yang problematik mendapatkan pembaharuan dari Pemprov Jateng. Azim menuturkan bahwa sesaat sebelum habisnya IPL, daerah bukit telah dipasangi patok-patok batas tambang secara klandestin. 

Selain Azim, terdapat anggota Gempadewa yang menyuarakan upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Gempadewa dan Wadon Wadas untuk mempertahankan tanahnya. Ia tidak memperkenalkan namanya, tetapi beberapa upaya yang ia sebut adalah warga membuat pos pengawasan yang beroperasi selama 24 jam secara bergantian untuk menjaga wilayah perbukitan apabila ada aktivitas pertambangan klandestin tersebut. Upaya hukum juga dilakukan dengan menggandeng LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum mereka, dan kini mereka sedang memperkarakan pembaharuan IPL tersebut di PTUN Semarang.

“Kami warga juga secara rutin bermujahadah, berharap pada Tuhan agar tanah kami dijaga karena kami tidak bisa berharap pada pemerintah yang sekarang masih angkuh. Apakah sampai sekarang masih efektif upaya perlawanan ini? Menurut kami iya, karena upaya pertambangan secara masif masih belum dilakukan,” tutupnya.

Webinar donasi ini digelar oleh Komite Kajian Hak Lingkungan AII Chapter dan Kementerian Pengabdian Masyarakat BEM FH UNAIR, dengan judul “Konflik Wadas dan Hak Asasinya yang Diterabas”. Acara yang digelar Sabtu pagi (7/8/2021) ini juga mengundang kuasa hukum Gempadewa dari LBH Yogyakarta dan perwakilan dari WALHI Yogyakarta.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp