Amnesty Chapter UNAIR Angkat “Konflik Wadas dan Hak Asasinya yang Diterabas”

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Salah satu bentuk protes warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Komite Kajian Hak Lingkungan Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR bersama Kementerian Pengabdian Masyarakat BEM FH UNAIR mengadakan webinar amal yang mengangkat tema “Konflik Wadas dan Hak Asasinya yang Diterabas” pada Sabtu pagi (7/8/2021). Kegiatan ini mengeksplor seluk beluk konflik agraria dengan pemerintah di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Lahan perkebunan di Bukit Wadas yang telah dijadikan sumber penghidupan selama turun-menurun terancam akan dijadikan tambang batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener oleh pemerintah.

Kepala Divisi Advokasi Lingkungan WALHI Yogyakarta Himawan Kurniadi dihadirkan sebagai salah satu narasumber dalam webinar amal itu. Himawan mengatakan bahwa Konflik Wadas ini merupakan salah satu dari sekian banyak contoh keras kepalanya dan keserakahan pemerintah dalam meneruskan agenda pembangunan yang destruktif dan abai terhadap nasib rakyatnya, terutama rakyat kecil. Ia juga menyayangkan aksi unjuk rasa yang pernah dilakukan oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) juga direspon oleh kekerasan dari aparat kepolisian, serta penangkapan kuasa hukum warga Desa Wadas dari LBH Yogyakarta.

“Ini kan sama seperti di kasus Bandara Yogyakarta yang nanti juga akan didukung suplai airnya oleh Bendungan Bener, yang digadang-gadang akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia. Ini tentu kontradiktif dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mengajak anak muda untuk menjadi petani. Gimana mau jadi petani kalau tanahnya mereka digusur?” tegasnya.

WALHI juga mempertanyakan aspek ekologis dan esensi dari pembangunan bendungan yang sebesar itu. Proyek monumental itu tidak diperlukan apabila hanya untuk irigasi pertanian saja, karena efektivitas bendungan sebagai suplai air di Indonesia saja tidak tentu karena tak selalu dapat terisi air. Sehingga ia menekankan bahwa sejatinya pembangunan bendungan ini hanyalah untuk menyokong Bandara YIA yang digadang untuk menjadi aerotropolis di masa depan.

“Belum lagi pertambangan batu di Desa Wadas ini juga dapat merusak puluhan sumber air untuk warga desa, habis itu kajian lingkungan amdalnya juga melanggar hukum dan tak menggubris penolakan warga. Lokasi pembangunan Bendungan Bener itu juga telah ditetapkan sebagai kawasan rawan longsor oleh Pemkab Purworejo. Sehingga seharusnya aktivitas pembangunan yang masif dan rentan seperti itu tidak diperbolehkan apabila mengacu UU Penanggulangan Bencana,” ujarnya.

Oleh karena itu, pegiat lingkungan hidup itu mengatakan bahwa narasi ganti untung lahan oleh Presiden Jokowi itu sejatinya tidak menguntungkan. Menurutnya, ada konsep kesejahteraan yang dipaksakan oleh pemerintah dalam Konflik Wadas karena upaya modernisasi dan pembangunan tentu abai pada fakta bahwa warga Desa Wadas sudah dapat menghidupi komunitasnya dengan berkebun selama bertahun-tahun.

“Problematikanya adalah bagaimana warga Desa Wadas yang hampir tidak dilibatkan dalam rencana aktivitas tambang batu ini. Namun agar tidak terlalu pesimistik, sejatinya Konflik Wadas ini dapat dijadikan momentum advokasi dan konsolidasi yang mengontra narasi pemerintah soal pembangunan dari masyarakat sipil, sekaligus memperjuangkan keadilan bagi warga-warga Wadas,” tutupnya.

Selain perwakilan dari WALHI, webinar ini juga mengundang perwakilan Gempadewa dan kuasa hukumnya dari LBH Yogyakarta sebagai narasumber.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp