Teknik Operasi Intrakranial untuk Ensefalokel Frontal Terbukti Lebih Aman

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Herald Sun

Ensefalokel frontoetmoidal (EFE) merupakan kelainan pembentukan tabung saraf yang ditandai oleh adanya benjolan di puncak hidung atau di antara kedua mata. Kelainan ini merupakan kelainan yang terjadi sejak di dalam kandungan. Kasus EFE banyak dijumpai di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Myanmar, Camboja, dan Indonesia. Intervensi pembedahan pada anak dengan EFE harus dilakukan untuk memperbaiki kelainan bentuk wajah, gangguan lapang pandang, dan untuk mencegah komplikasi seperti bertambahnya ukuran EFE oleh karena bertambahnya jaringan intrakranial yang melewati defek, serta meningkatnya resiko terjadinya infeksi sistem saraf pusat akibat pecah dan terjadinya luka pada permukaan kulit EFE.

Saat ini ada dua kategori pendekatan pembedahan EFE, yaitu pendekatan intrakranial dan ekstrakranial. Pendekatan ekstrakranial adalah tindakan operasi yang dilakukan terutama dari wajah, tidak membuka ruang dasar tengkorak anterior atau tidak membuka tulang Frontal. Operasi ini relatif lebih mudah dilakukan di daerah dengan keterbatasan sumber daya. Pendekatan intrakranial berkembang menjadi dua macam teknik yaitu teknik intrakranial murni dan subcranial. Teknik subcranial merupakan pengembangan dari teknik intrakranial murni dengan modifikasi berupa pembukaan tulang frontal tidak dilakukan secara menyeluruh tetapi hanya dilakukan pada bagian basal dari tulang Frontal (subfrontal osteotomy). Teknik subcranial ini saat ini berkembang mengingat kejadian EFE banyak ditemukan di Negara dengan sumber daya terbatas. Teknik ini menawarkan kemudahan, kecepatan waktu operasi, lebih sedikit kehilangan darah, dan tidak membutuhkan sumber daya yang banyak. Di Surabaya teknik ini telah diadopsi sejak tahun 1995 dan merupakan teknik yang paling sering digunakan dan sebagian kecil pasien diterapi dengan teknik operasi ekstrakranial murni.

Tindakan pembedahan sendiri membawa risiko komplikasi pasca operasi. Komplikasi yang tersering timbul adalah kebocoran cairan serebrospinalis (CSS), infeksi luka operasi, “kekambuhan” atau munculnya kembali benjolan. Komplikasi tersebut tidak sedikit yang memerlukan tindakan operasi ulang, perawatan di rumah sakit yang lebih lama, jaringan parut luka yang jelek, biaya perawatan yang lebih tinggi, dan dapat berakibat fatal pada beberapa pasien.

Hingga saat ini belum ada data yang membandingkan apakah teknik intrakranial memang lebih baik dibandingkan teknik ekstrakranial dalam hal kejadian komplikasi dan perlunya operasi ulang. Pandangan yang berlaku sekarang adalah teknik ekstrakranial lebih inferior dibandingkan intrakranial. Suatu meta analisis dilakukan untuk menilai kejadian komplikasi kebocoran cairan srebrospinalis, infeksi akibat kebocoran cairan serebrospinal, angka operasi ulang, dan angka kekambuhan yang terjadi pada kedua teknik pembedahan.

Hasil meta analisis menunjukkan bahwa angka kejadian kebocoran cairan serebrospinalis terjadi tiga kali lebih banyak pada teknik operasi ekstrakranial dibandingkan teknik intrakranial. Penyebab utama dari tingginya angka kebocoran CSS pada pendekatan ekstrakaranial adalah akibat keterbatasan dari teknik ini dalam mengakses dan menutup dura secara sempurna. Perlu diketahui bahwa dura pada EFE tidak seperti dura normal. Sifatnya yang tipis dan rapuh memerlukan penanganan yang hati-hati dan akses yang cukup agar dapat ditutup secara baik. Pendekatan subcranial atau subfrontal sudah cukup memberikan akses tersebut sehingga penutupan dura dapat dilakukan dengan lebih baik. Risiko kebocoran pada pendekatan intrakranial murni yang melibatkan pembukaan tulang frontal yang luas tidak berbeda dengan pendekatan subfrontal yang hanya membuka bagian basal tulang frontal.

Kebocoran CSS dapat berkembang menjadi infeksi daerah operasi yang dapat masuk dan menyebabkan infeksi selaput otak (meningitis). Bila telah terjadi kebocoran CSS, risiko terjadinya infeksi tidak berbeda antara pendekatan ekstrakranial maupun intrakranial.

Pada fase awal kebocoran CSS yang terjadi dapat diatasi tanpa tindakan operasi ulang. Tindakan yang dapat dilakukan adalah aspirasi berulang, bebat tekan, tirah baring, pemberian asetazolamid, dan pemasangan lumbar drain bila diperlukan. Bila kebocoran tidak dapat dikendalikan setelah 2 minggu perawatan, tindakan operasi ulang diperlukan untuk menutup defek dura. Angka operasi ulang pada teknik ekstrakranial terbukti lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan teknik intrakranial. Kebocoran dura yang lebar pada teknik ekstrakranial berkontribusi terhadap tingginya angka operasi ulang.

Kejadian kekambuhan atau munculnya kembali benjolan di tempat yang sama terjadi empat kali lebih tinggi pada teknik ekstrakranial. Hal ini seiring dengan angka kebocoran CSS akibat defek dura yang lebar yang dapat menyebabkan herniasi ulang jaringan otak melalui celah dura yang tidak tertutup secara sempurna. Pada teknik ekstrakranial, penutupan celah tulang dasar tengkorak juga tidak dimungkinkan, sehingga menyebabkan jaringan otak mudah untuk melewati celah tulang tersebut dan tampak sebagai kekambuhan benjolan.

Walaupun teknik ekstrakranial memiliki beberapa kekurangan namun pada beberapa kasus EFE yang kecil (ukuran kurang dari 1 cm) dengan defek tulang yang sangat kecil (kurang dari 0,5 cm) dan tidak memerlukan rekonstruksi tulang hidung atau tulang fronto-orbital masih dapat ditangani dengan teknik ini. Kelebihan menggunakan teknik ini pada kasus selektif adalah waktu operasi yang lebih cepat, perdarahan yang lebih sedikit, dan jaringan parut yang lebih kecil.

Penulis: Wihasto Suryaningtyas

Artikel lengkap dapat diakses di:

Wihasto Suryaningtyas, I Putu Ananta Wijaya Sabudi, Muhammad Arifin Parenrengi. The extracranial versus intracranial approach In frontoethmoidal encephalocele corrective surgery: a meta‐analysis. Neurosurgical Review. DOI: https://doi.org/10.1007/s10143-021-01582-6

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp