Dies Natalis FPK ke-13 Soroti Pengendalian Antibiotik Ikan Budidaya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Memasuki usia yang ke-13, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (FPK UNAIR) merayakan serangkaian Dies Natalis. Salah satunya webinar bertajuk “Reach on Internationalization” yang mendatangkan dosen FPIK Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Nuning Vita Hidayati, S.Pi., M.Si. Ph.D. sebagai pembicara pada Kamis (29/07/2021). Webinar berlangsung melalui teleconference zoom meeting dan disiarkan langsung melalui live YouTube.

Pada kesempatan itu, Dr. Nuning menjelaskan mengenai residu antibiotik pada sistem akuakultur yang dikaitkan dengan risiko keamanan pangan. Ia memaparkan, antibiotik yang diberikan secara sembarangan berisiko memicu resistensi atau kekebalan kuman. Hal ini banyak ditemui pada ikan-ikan budidaya.

“Akuakultur secara  global, termasuk di Indonesia, sangat potensial dibandingkan penangkapan. Namun dengan tingginya pemakaian antibiotik terhadap ikan dapat berpengaruh ke manusia yang mengkonsumsinya,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-2 pemberian antibiotik ke ikan. Menurutnya, itu bukan sebuah prestasi melainkan tantangan dan PR bersama. Ia membeberkan adanya kasus pada kawasan tambak udang vaname di Indonesia.

“Berdasarkan penelitian saya, rupanya baik di inlet canal maupun outlet canal ditemukan penggunaan obat trimethoprim (TMP), Acetaminophen (ACM), Sulfamethoxazole (SMX), dan Oxytetracycline (OTC). Menariknya, keempat jenis obat ini tidak ada unsur injeksi penyuntikan di area tersebut,” papar dosen FPIK Unsoed.

Nuning mencurigai bahwa residu antibiotik tidak hanya didapatkan dari tempat budidaya tetapi dari sumber aliran lingkungan sekitar.

“Diduga dari hasil penelitian saya bahwa tidak hanya dari akuakultur. Tetapi rumah sakit, peternakan unggas, municipal sewage atau buangan pemukiman yang mengalir ke sungai juga turut menyumbangkan residu antibiotik,” tegas Nuning.

Hal ini sangat berkaitan dengan SDGs terutama pada goals 1, 2 dan 3. Pasalnya, selain isu residu antibiotik juga dihadapkan dengan persyaratan terkait keamanan pangan dan kesehatan ekologis. Lebih lanjut, Nuning memberikan contoh konkret yakni saat hendak ekspor produk perikanan tentunya harus aman dari residu kimia seperti antibiotik.

Nuning menggarisbawahi definisi dalam aspek keamanan pangan atau food safety yang artinya  bebas dari kontaminasi. Sementara ketahanan pangan atau food security artinya distribusi pangannya sustainable.

Untungnya, ia menilai Sustainable aquaculture banyak digaungkan termasuk oleh pemerintah dan WHO yang telah tanggap mengatur regulasi terkait pengendalian antibiotik. Salah satunya Rencana Aksi Nasional (RAN) 2020-2024.

Untuk menutup paparan materi, Nuning berharap dan mengingatkan masyarakat agar bisa bersama-sama berupaya menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan.

“Saya mengutip narasi hari keamanan pangan dunia 7 Juni 2021,yang berbunyiSafe food now for a healthy tomorrow, food safety is everyone’s business’ untuk menjaga keberlanjutan goals 1 memberantas kemiskinan, goals 2 memberantas kelaparan, goals 3 kesehatan yang baik, dan goals seterusnya. Itu bukan urusan satu atau dua orang, tetapi ini urusan kita semua,” tutup Nuning. (*)

Penulis : Viradyah Lulut Santosa

Editor  : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp