Ultrasonografi Paru sebagai Alternatif Foto Polos Dada untuk Diagnosis Sindroma Gawat Nafas pada Bayi Kurang Bulan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by WeCare id

Sindroma gawat nafas merupakan penyakit emergensi saluran nafas yang sering dijumpai pada bayi kurang bulan yang disebabkan karena imaturitas paru. Foto polos dada terkadang membutuhan waktu untuk implementasi dan pembacaan oleh ahli radiologi. Ultrasonografi paru sudah dikembangkan sebagai modalitas diagnosis untuk sindroma gawat nafas pada bayi kurang bulan. Tujuan dari studi ini adalah untuk membadingkan pemeriksaan foto polos dada dan ultrasonografi paru untuk mendiagnosis sindroma gawat nafas pada bayi kurang bulan.

Studi ini dilaksanakan pada Juli sd September 2019. Ultrasonografi paru dan foto polos dada  dikerjakan pada 33 bayi kurang bulan dengan usia kehamilan kurang dari sama dengan 34 minggu. Dari karakteristik pasien didapatkan lahir seksio 18 orang, spontan 15 orang. Usia kehamilan kurang dari 28 minggu 3 orang, 28 sampai dengan 31 minggu 21 orang, dan 32 sampai dengan 34 minggu 8 orang. Berat lahir kurang dari 1.000 gram 8 orang, 1000 sampai dengan dengan 1.499 gram 16 orang dan berat lahir 1.500 gram atau lebih sebanyak 9 orang. Pematangan paru dilakukan pada 4 orang secara lengkap dan 23 tidak lengkap, serta tidak dilakukan pematangan paru pada 8 orang. Penggunaan ventilator non invasif pada 29 orang dan invasif pada 4 orang. Gambaran foto polos dada berupa konsolidasi paru dengan air bronkogram dijumpai pada 29 orang yang menunjukkan ada sindroma gawat nafas derajat 2. Gambaran ini lebih jelas pada derajat 3 dan 4, dan gambaran paru putih dijumpai pada 14 orang dengan diagnosis derajat 3 dan 4. Pada ultrasonografi paru  dijumpai Alveolar Interstitial Syndrme (AIS) pada 15 orang, didapatkan gambaran abnormalitas garis A pada 4 orang dengan transient takipnea bayi baru lahir, yang disertai gambaran titik ganda pada paru, dan sindroma alveolar interstitial. Dari perhitungan Mc Nemar didapatkan nilai 1,00 dengan Kappa 0,633 dengan kemaknaan p 0,00

Studi ini dilakukan untuk mencari hasil bermakna, nilai kesesuaian, dan apakah terdapat perbedaan pada ultrasonografi paru dan foto polos dada. Kejadian prematuritas terbanyak pada studi ini pada usia kehamlan 28 sampai dengan 32 minggu yaitu 63,6%. Insiden perinatal asfiksia pada studi ini juga cukup besar yaitu 33%, dan sebagian besar adalah bayi berat lahir sangat rendah. Perinatal asfiksia berhubungan dengan sindroma gawat nafas pada studi sebelumnya. Nilai APGAR yang rendah menyebabkan syok kardiovaskuler, hipertensi pulmonal dan vasokonstriksi pulmonal. Vasokonstriksi pulmonal menyebabkan kerusakan sel endotel dan sel epitel alveolar. Aktivitas surfaktan yang terganggu karena jumlah yang kurang pada bayi kurang bulan menyebabkan sindroma gawat nafas. Komplikasi maternal yang menyebabkan kelahiran bayi kurang bulan pada studi ini adalah pre eklamsia dan hipertensi pada kehamilan. Pada studi sebelumnya bayi yang lahir dari ibu pre eklamsia mempunyai risiko 1,5 lebih besar untuk terjadinya sindroma gawat nafas. Indikasi sectio sesaria pada komplikasi maternal adalah pre eklamsia dan hipertensi kehamilan. Evaluasi garis pleura pada sindroma gawat nafas merupakan temuan yang spesifik tetapi sulit dilakukan pada metode transabdominal. Pada studi ini digunakan metode transtorakal karena lebih baik dariada transabdominal. Gambaran  Alveolar Interstitial Syndrome (AIS) yang disertai dengan abnormalitas garis pleural mempunyai sensitivitas dan spesifitas 100% untuk mendiagnosis sindroma gawat nafas. Gambaran ultrasonografi paru pada sindroma gawat nafas menyerupai gamaran pada Acute Lung Injury (ALI) dan Acute Respira

tory Distress Syndome (ARDS) pada dewasa. Gambaran AIS pada studi ini sesuai dengan studi sebelumnya yang menunjukkan adanya gambaran ini disertai abnormalitas garis paru yag dijumpai pada sindroma gawat nafas. Pada fase akut dari sindroma gawat nafas, gambaran klinis dapat berubah bermakna secara cepat sesuai dengan perjalanan penyakit dan tindakan resusitasi dan bantuan nafas yang diberikat. Sehingga pada studi ini untuk menghindari bias maka dilakukan ultrasonografi paru segera setelah dilakukan foto polos dada. Perhitungan statistik dengant uji Kappa p < 0,05 dan nilai Kappa 0,633 yang berarti nilai agreement  sebesar 63%. Dengan tes McNemar didapatkan nilai 1,00 yang menunjukkan tidak ada beda bermakna pada 2 alat. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ultrasonografi paru dapat digunakan sebagai pendekatan rasional untuk diagnsosis dan terapi pada sindroma gawat nafas pada bayi kurang bulan.

Penulis: Dr Martono Tri Utomo, dr , SpA(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.alliedacademies.org/abstract/comparison-between-lung-ultrasonography-and-chest-xray-in-the-diagnosis-of-respiratory-distress-syndrome-in-preterm-neonates-in-dr-16179.html

Comparison between lung ultrasonography and chest x-ray in the diagnosis of respiratory distress syndrome in preterm neonates in Dr. Soetomo General Hospital Surabaya, Indonesia. Muhammad Reza, Martono Tri Utomo, Talitha Yuliaputri Aden.  Current Pediatric Research; 2021,25 (4): 570-574.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp