Dekan FISIP Tekankan Pembenahan Kesenjangan Digital sebagai Kunci Keberhasilan UMKM

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Dekan FISIP UNAIR Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si., hadir sebagai narasumber. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Program kerja Sapa Desa 2021 yang digelar oleh Kementerian Sosial Kemasyarakatan BEM FISIP UNAIR mengadakan Webinar Amal Nasional sebagai salah satu rangkaian kegiatannya pada Minggu (25/7/2021). Dekan FISIP UNAIR Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si., hadir sebagai narasumber ketiga dari acara tersebut. Tema yang dieksplor dalam webinar tersebut adalah pemberdayaan ekonomi kreatif desa selama pandemi COVID-19 melalui optimalisasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Sonder lembaran presentasi, materi yang disampaikan oleh Prof. Bagong merupakan refleksi singkat terkait arah gerak pemerintah untuk optimalisasi UMKM melalui digitalisasi. Ia menuturkan bahwa hal ini rentan menjadi kebijakan yang meritokratis. Hal ini dikarenakan bahwa tidak semua pelaku UMKM itu dapat menerima dan beradaptasi dengan mudah terhadap digitalisasi.

“Secara umum, kesempatan kelas bawah dapat naik kelas secara kemampuan ekonomi adalah apabila terdapat diferensiasi struktural dalam tatanan ekonomi masyarakat. Jadi tatanannya terpecah-pecah, dan tidak monopolistic,” jelasnya.

Hal itu, sambung Prof. Bagong, dapat dilihat dalam dunia digital dimana orang biasa dengan mudah dapat menjadi mikroselebriti dengan keuntungan yang ratusan juta karena menggunakan teknologi digital. Hal tersebut menjadi bukti bahwa dunia digital telah terdiferensiasi secara struktural.

 “Namun, apakah tatanan tersebut juga berlaku bagi pelaku UMKM?,” tandasnya.

Guru Besar Sosiologi Ekonomi itu mengenalkan konsep digital divide (kesenjangan digital) yang menjadi kendala utama tercapainya optimalisasi UMKM melalui digitalisasi. Di desa, tentu adaptasi dan absorbsi teknologi modern tidak secepat dengan kota, dan itu tentu memiliki dampak terhadap pelaku UMKM yang gaptek (gagap teknologi). Prof. Bagong menekankan bahwa nihilnya pemberdayaan dan edukasi digital dalam upaya optimalisasi UMKM akan membuat pelaku UMKM yang memiliki kapabilitas daring saja yang dapat membaca peluang-peluang pasar.

“Ini akan menciptakan elitisme baru dimana pelaku UMKM akan mendominasi karena kesempatan dan peluang mereka lebih terbuka lebar. Pemerintah kerap melontarkan istilah-istilah digital, seperti petani digital. Pertanyaannya adalah apakah masyarakat desa sudah siap dalam menerima digitalisasi ini? Rentan sekali digitalisasi yang cepat ini menciptakan gejala digital anxiety, dimana orang yang gaptek rentan bingung dan gelisah dalam mengoperasikan teknologi digital, karena minimnya edukasi teknologi,” paparnya.

Prof. Bagong mencontohkan perlunya pembenahan struktur masyarakat dengan teori Arief Budiman yang membandingkan kesuksesan industrialisasi Korea Selatan, dengan tersendatnya industrialisasi Indonesia pada tahun 1960an. Budayawan itu menjelaskan bahwa Korea Selatan sebelum industrialisasi telah membentuk struktur masyarakat belah ketupat, melalui program-program reformasi agraria yang menjadikan banyak kelas menengah di negeri itu. Sementara Indonesia, struktur masyarakat yang menyambut industrialisasi adalah struktur masyarakat piramida.

“Jadi, masyarakat kelas menengah ke bawahnya masih bejibun. Pada akhirnya, kekayaan dan dampak industrialisasi hanya tersentralisasi pada kelompok yang di atas piramida itu. Kita bisa lihat bahwa orang kaya di Indonesia dari tahun ke tahun ya itu-itu saja. Untuk itu, dalam konteks optimalisasi UMKM desa melalui digitalisasi, diferensiasi struktural dalam kapabilitas operasi teknologi digital bagi pelaku UMKM itu sangatlah perlu,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp