Sifat Kimiawi dan Sensorik Flakes Berbahan Rumput Laut dan Kedelai

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by CNN Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah, terutama dari hasil kelautan dan perikanan. Total produksi rumput laut dalam negeri mencapai 11 juta ton (Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016). Komoditas yang melimpah juga berasal dari pertanian, termasuk kedelai. Menurut data statistik dari Kementerian Pertanian, produksi kedelai di Indonesia mencapai 954.000 pada tahun 2014. Rumput laut mengandung nutrisi yang baik untuk tubuh. Ini juga merupakan sumber nutrisi dan mineral yang baik. Serat makanan dalam rumput laut mengenyangkan dan membantu proses metabolisme tubuh. Kedelai merupakan sumber protein dan lemak serta vitamin A, E, K, beberapa jenis vitamin B, dan mineral K, Fe, Zn dan P.

Sumber pangan lokal yang melimpah di Indonesia berpotensi untuk dikembangkan sebagai diversifikasi produk serpih guna memaksimalkan produksi dan konsumsi pangan lokal yang merupakan sumber karbohidrat non-beras dan non-tepung. Sebagai produk makanan sarapan siap saji, flakes harus mengandung standar gizi sebagai makanan sarapan yang umumnya terbuat dari sumber protein, karbohidrat berupa pati, serat, vitamin, dan mineral. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan terhadap karakteristik kimia dan sensorik flakes berbahan dasar rumput laut Kappaphycus alvarezii sebagai sumber serat tinggi dan kacang kedelai (glycine max (L.) Merill) sebagai sumber protein tinggi.

Formula flakes terdiri dari tiga taraf substitusi rumput laut dan tepung kedelai, dengan perbandingan rumput laut: kedelai diformulasikan sebagai berikut: P1 1:1, P2 2:1 dan P3 1:2. Jumlah rumput laut yang digunakan dalam setiap formula adalah 140 gram. Rumput laut dan tepung kedelai ditimbang sesuai proporsi (1:1, 2:1, dan 1:2), kemudian dicampur dengan bahan lain seperti gula, garam, tepung tapioka, dan air hingga homogen. Setelah itu, campuran diaduk sampai kalis. Campuran tersebut dikukus selama tiga menit pada suhu 70oC untuk meningkatkan sifat pengawet, kualitas pangan, kesesuaian, atau daya tahan setelah pemasakan akibat proses gelatinisasi. Adonan kukus dibuat menjadi lembaran-lembaran dengan menggunakan dough sheeter dengan ketebalan ±0,5 mm. Selama pembuatan lembaran, adonan mengalami tekanan, pelepasan udara, perubahan konsistensi, dan peningkatan kepadatan. Adonan yang sudah pipih kemudian dicetak dan dibentuk dengan ukuran 2 x 2 cm.

Setelah dicetak dan dibentuk, serpih dipanggang menggunakan oven selama 30 menit pada suhu 150oC. Pembakaran bertujuan untuk membuat tekstur berpori, mengurangi kadar air, dan mengubah tampilan warna karena reaksi Maillard dan karamelisasi. Flake yang dihasilkan kemudian diamati karakteristik kimianya, seperti kadar karbohidrat, kadar protein, kadar lemak (Soxhlet) dan kadar serat kasar. Karakteristik sensorik yang meliputi rasa, aroma, warna dan tekstur juga diamati menggunakan uji organoleptik. Data yang diperoleh diolah menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Hasil analisis deskriptif diperoleh dari uji organoleptik.

Penulis : Dr. Kismiyati, Ir., M.Si.

Informasi lebih detail dari penelitian ini dapat ditemukan pada jurnal ilmiah pada link berikut ini:

https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/236/1/012126

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp