Selain Tuberkulosis, Candidiasis Oris dan Anemia banyak Ditemukan pada Pasien HIV

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh news365.co.za

Penelitian HIV-AIDS yang dilaksanakan periode 2019-2020 di RS Dr. Soetomo Surabaya dengan total 320 pasien mendapatkan hasil bahwa kelompok usia pasien terbanyak 30 – 39 tahun dengan pasien termuda berusia 19 tahun dan pasien tertua berusia 82 tahun. Pendidikan terakhir didominasi tamat SMA. Status pernikahan tidak jauh berbeda dengan penelitian di negara lain, penelitian di Nigeria menyebutkan wanita yang telah menikah memiliki resiko lebih tinggi terinfeksi HIV dibandingkan yang belum menikah.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang dan menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya sistem kekebalan tubuh manusia. Infeksi virus ini bersifat persisten karena tubuh tidak mampu mengeliminasinya meskipun dengan terapi terbarukan hingga saat ini. Ketika jumlah sel limfosit CD4 <200 sel/mikroliter, tubuh tidak lagi memiliki kemampuan melawan berbagai infeksi dan penyakit, inilah yang dinamakan fase AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome).

Sebanyak 39,7% pasien HIV-AIDS di RS Dr. Soetomo mengalami anemia. Kondisi ini lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan di Ethiopia (26.2%), tetapi lebih rendah dari India (77.5%). Penyebab utama kondisi ini menurut pustaka karena Drug induced anemia khususnya obat Zidovudine yang dapat mereduksi level hemoglobin dan adanya infiltrasi atau suppresi sumsum tulang akibat infeksi juga turut berkontribusi. Disfungsi ginjal juga menjadi penyebab anemia kronis dan disebutkan anemia dengan trombositopenia harus menjadi perhatian serius karena tingginya angka kesakitan dan kematian.

Pasien HIV yang mengalami sepsis berkisar 24,4% dengan rata-rata jumlah CD4 124,1 sel/µL. Sepsis dalam perjalanannya dapat menyebabkan gagal napas melalui kerusakan endotel dan perubahan aliran mikrovaskular pada paru yang menyebabkan terjadinya Acute Respiratory Distress Syndrome. Prevalensi penyakit sekunder terbanyak adalah Candidiasis Oris (56.3%), Tuberkulosis (40.9%), dan Anemia (39.7%). Toxoplamosis cerebri menjadi infeksi oportunistik pada sistem saraf pusat yang cukup banyak dijumpai pada pasien HIV (19.7%).

Candidiasis Oris disebabkan oleh jamur Candida albicans yang secara normal dapat ditemukan di kulit, mulut, dan tenggorokan. Sama seperti infeksi tuberkulosis, candidiasis ini juga dipengaruhi oleh rendahnya CD4 pasien dan merupakan pertanda telah terjadinya imunosupresi pada pasien. Pada endoskopi saluran pencernaan pasien HIV pada esofagus ditemukan candidiasis 28%, esophangitis 22%, pada lambung ditemukan gastritis 20%, pada usus dua belas jari ditemukan duodenitis 14% dan hanya 18% dengan mukosa yang normal. Selain mengalamai perubahan jaringan, pada pasien HIV juga ditemukan perubahan spesifik dalam komposisi flora usus yaitu Proteobacteria, Bacteriodetes, Firmicutes dan pada level genus terjadi perubahan dari Bacterioides ke Prevotella, perubahan ini menyebabkan terjadinya gangguan permeabilitas mukosa lambung dan hilangnya regulasi imun serta aktivitas probiotik.

Pasien HIV/AIDS memiliki resiko 10 kali lebih besar mengalami infeksi tuberkulosis dibandingkan pada orang normal. Selain infeksi tuberkulosis pada saluran pernafasan sering juga dijumpai Pneumocytis Carinii Pneumonia (PCP). Infeksi ini disebabkan oleh jamur P. jirovecii/cariniii yang dapat menyebabkan pneumonia terutama pada pasien imunokompromais. Infeksi ini biasanya bersifat tersembunyi, progresif, dan menyebabkan sesak napas dengan batuk kering. Pasien HIV yang tidak mendapat terapi ARV dengan baik memiliki resiko 5-25 kali lebih besar menderita bacterial pneumonia.

Penelitian toxoplamosis cerebri pada pasien AIDS dengan metode molekular/PCR dilaporkan pada angka 26.22% sedangkan pasien-pasien tersebut hanya 3.24% reaktif terhadap anti-Toxoplasmosis IgM. Infeksi ini disebabkan oleh parasit Toxoplamosis gondii yang sering menyebabkan terjadinya masa fokal di otak. Infeksi ini biasanya bersifat kronis persisten dan tanpa gejala dimana reaktivasi menjadi rute yang dominan terutama pada pasien dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/µL dan membawa risiko fatal jika tidak diobati.

Penelitian di RS Dr Soetomo, Surabaya juga ditemukan pasien dengan depresi (5,3%), meskipun tidak terlalu besar prevalensinya seperti di RSUP Dr Kariadi Semarang dimana 89.2% pasien mengalami gangguan psikiatri setelah mengonsumsi obat ARV. Diagnosis gangguan psikiatri yang sering didapatkan yaitu depresi, gangguan penyesuaian dan gangguan cemas. Gangguan psikiatri yang muncul karena penggunaan ARV disebutkan karena adanya stigma negatif baik dari keluarga maupun lingkungan.

Pasien HIV dengan CD4 kurang dari 200 cells/µL sangat rentan terhadap berbagai penyakit sekunder. Monitoring rutin terhadap prevalensi penyakit sekunder perlu dilakukan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV.

Penulis: Erwin Astha Triyono, Feriawan Tan, Manik Retno Wahyunitisari

Link artikel: https://medic.upm.edu.my/jurnal_kami/malaysian_journal_of_medicine_and_health_sciences_mjmhs/mjmhs_vol_17_no_2_april_2021-61108

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp