Herpes Zoster pada Pasien COVID-19: Apakah Suatu Koeksisten Atau Kebetulan?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by KlikDokter

Reaktivasi virusVaricella-zoster (VVZ) teridentifikasi pada fase akut atau subakut dari infeksi COVID-19. Fenomena ini dikaitkan dengan perubahan imunitas pada pasien COVID-19, seperti disregulasi dan kelelahan dari imunitas selular. Pada awalnya infeksi COVID-19 dianggap selalu mengenai sistem pernapasan. Namun, seiring perkembangan penyakit, penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa COVID-19 dapat bermanifestasi di berbagai organ selain pernafasan. Kulit merupakan salah satu organ selain organ pernafasan yang terlibat dalam infeksi COVID-19. Ruam eksantematosa, makulopapular, morbiliformis, dan lesi urtikaria adalah gejala kulit COVID-19 yang paling banyak diidentifikasi.         

Dalam makalah ini, disajikan sebuah laporan kasus infeksi herpes zoster (HZ) pada pasien COVID-19. Seorang wanita berusia 26 tahun dikonsulkan ke Departemen?Kelompok Staf Medis Dermatologi dan Venereologi dengan bercak merah di pipi kanan yang terasa nyeri. Keluhan juga disertai rasa terbakar. Bercak merah berubah cepat menjadi lentingan-lentingan yang menyebar ke kelopak mata atas dan pipi bawahnya. Riwayat cacar sebelumnya disangkal pasien.

Pasien sebelumnya telah dirawat di rumah sakit Universitas Airlangga di ruang isolasi selama 10 hari, dengan diagnosis COVID-19 dan pneumonia ringan. Tes PCR mendukung diagnosis COVID-19 dan CT-scan dada menunjukkan infiltrasi paru. Hasil laboratorium menunjukkan kadar CRP kuantitatif 3,61 mg/L, dan kadar D-dimer adalah 0,4 ug/mL. Status dermatologis pada regio fasialis tampak multipel vesikel dengan distribusi herpetiformis dan dasar eritematosa yang berbatas tegas. Lesi erosif diamati di beberapa tempat.  Distribusi herpetiform vesikel menyebar sesuai dengan cabang persarafan saraf trigeminal.  Dari anamnesis dan didukung pemeriksaan klinis mengarah pada diagnosis klinis HZ.

Pengobatan diberikan asiklovir 800 mg lima kali sehari selama 7 hari, sefiksim 100 mg dua kali sehari, pregabalin 75 mg dua kali sehari, dan krim natrium fusidat 2% dua kali sehari. Sementara itu, oseltamivir, N-acetylcysteine, paracetamol, dan multivitamin diberikan oleh Departemen/Kelompok Staf Medis Pulmonologi. Lesi kulit membaik secara signifikan tiga hari setelah perawatan dan berangsur membaik dan sembuh. Tidak ada lentingan baru, dan bekas lesi lama menjadi hiperpigmentasi yang berangsur membaik setelahnya.

Pasien COVID-19 memiliki respons imunitas seluar yang lebih rendah,  sehingga berisiko lebih besar terinfeksi virus, termasuk HZ, karena pasien COVID-19 cenderung memiliki risiko reaktivasi VZV yang lebih tinggi. Herpes zoster bisa menjadi indikator yang mengkhawatirkan dari COVID-19 yang tidak terdiagnosis, karena infeksi COVID-19 tanpa gejala atau ringan dengan penurunan kekebalan ringan hanya dapat muncul sebagai reaktivasi VZV. Ada beberapa penelitian dalam konteks ini yang menunjukkan hubungan langsung antara HZ dan COVID-19 dan di Indonesia kasus ini adalah kasus pertama yang dilaporkan hingga saat ini. Studi di masa depan perlu fokus pada respons imunitas selular herpes zoster dan COVID-19. Selain itu, jumlah pasien yang lebih banyak dan pemeriksaan yang lebih menyeluruh diperlukan untuk menentukan hubungan langsung antara herpes zoster dan COVID-19.

Penulis: Dr. Afif Nurul Hidayati dr.,Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV

Informasi lebih lengkap dari laporan kasus ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2021061711551339_MJMHS_0376.pdf

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp