Kajian Pengetahuan Mengenai Mati Otak pada Residen (dokter PPDS I) di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Klikdokter.com

Kriteria dalam mendiagnosis kematian terus berkembang dari abad ke abad. Kriteria tersebut bersama dengan kemajuan teknologi telah membantu manusia dalam mendiagnosis kematian. Kriteria somatik, seperti keadaan dekomposisi dan rigor mortis, merupakan kriteria dalam mendiagnosis kematian yang tertua dalam sejarah manusia. Mati otak adalah suatu keadaan dimana otak kehilangan fungsinya secara ireversibel. Mati otak ditandai dengan hilangnya refleks batang otak, hilangnya respon motorik, hilangnya fungsi napas pada keadaan normotermik, serta koma pada pasien dengan lesi pada otak yang bersifat ireversibel dan tanpa adanya gangguan metabolik maupun pengaruh obat.

Dalam mendiagnosis mati otak, terdapat perbedaan kriteria di berbagai negara di dunia. Kriteria tersebut tidak semuanya dapat diterima secara universal sehingga pengetahuan mati otak sangat penting dimiliki agar tidak menyebabkan kebingungan dan menimbulkan beberapa masalah etik. Pengetahuan seorang dokter terhadap mati otak ini sangatlah penting diperlukan agar diagnosis menjadi benar dan akurat sehingga tidak menimbulkan masalah etik. Namun, sampai saat ini belum ada penelitian mengenai pengetahuan mati otak pada dokter di Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas islam terbesar di dunia.

Untuk memberikan kontribusi dalam bidang ini, sebuah penelitian analitik observasional dilakukan oleh Asra Al Fauzi dkk., (2020) dari Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya, penelitian yang telah diterbitkan dalam Folia Medica Indonesiana (The Center for Medical Science Community, Faculty Medicine, Airlangga University) ini bertujuan untuk mengevalusi pengetahuan mati otak serta cara mendiagnosis mati otak pada dokter PPDS I di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian cross-sectional menggunakan kuesioner. Subjek penelitian terdiri dari 132 dokter PPDS I tingkat 2 dan 3 yang diambil secara total sampling pada departemen bedah saraf, anestesiologi dan reanimasi, serta neurologi di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya-Indonesia. Peneliti memilih subjek penelitian dari tiga departemen tersebut karena di Indonesia yang mendiagnosis mati otak adalah dokter spesialis neurologi, dokter spesialis anestesi, dan satu dokter lain yang biasanya adalah dokter spesialis anak atau dokter spesialis bedah saraf. Peneliti juga memilih dokter PPDS I tingkat 2 dan 3 karena peneliti menganggap PPDS I tingkat 2 dan 3 sudah mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman dalam mendiagnosis mati otak. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang dibuat sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 dan penelitian-penelitian sebelumnya.

Setelah semua data survei dikumpulkan, kemudian data dianalisis menggunakan IBM SPSS Statistics 25. Analisis data meliputi statistik deskriptif, uji validasi menggunakan metode Pearson Product moment, uji mann-whitney, dan uji kruskal-wallis. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis data non parametrik karena jenis data pada penelitian ini berupa data ordinal yaitu tingkatan pengetahuan baik, cukup, dan kurang. Penelitian ini sudah disetujui oleh komite etik RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Pada penelitian ini, didapatkan pengetahuan mati otak pada dokter PPDS I paling banyak pada kategori baik (35,6%), pengetahuan dokter PPDS I terhadap konsep mati otak paling banyak pada kategori cukup (41,7%), pengetahuan dokter PPDS I terhadap teknis mendiagnosis mati otak paling banyak pada kategori baik (40,2%), dan pengetahuan dokter PPDS I terhadap pemeriksaan mati otak paling banyak pada kategori kurang (43,2%). Didapatkan pula perbedaan yang signifikan terhadap pengetahuan mati otak antara dokter PPDS I Bedah Saraf, Neurologi, dan Anestesiologi (P<0.001) dan pengetahuan mati otak antara dokter PPDS I tingkat 2 dan 3 (P=0,032).

Pada akhirnya, penelitian ini mengungkapkan bahwa pengetahuan dokter PPDS I di Indonesia terhadap mati otak sudah cukup baik, namun tingkat pengetahuan terhadap cara pemeriksaan mati otak pada dokter PPDS I tersebut dinilai masih kurang. Penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan terhadap kematian otak terutama cara mendiagnosis mati otak pada dokter PPDS I maupun pada dokter profesional/spesialis di Indonesia.

Penulis: Asra Al Fauzi

Informasi lengkap dari artikel ini dapat diakses pada laman berikut:  https://www.e-journal.unair.ac.id/FMI/article/view/21235 / http://dx.doi.org/10.20473/fmi.v56i2.21235

Berita Terkait

Achmad Chasina Aula

Achmad Chasina Aula

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi