Mural, Kartelisasi, dan Otoritarianisme

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari detikNews

Tapi lebih resah pembaca coretannya, sebab coretan dinding adalah pemberontakan kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah

Coretan Dinding – Iwan Fals

Setidaknya ada lima mural di Indonesia yang telah mengalami penghapusan paksa dalam beberapa waktu terakhir oleh aparat kepolisian dan Satpol PP. Semua mural yang dihapus tersebut berisi tentang kritik terhadap penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintah.

Di Tangerang, Banten, terdapat tiga mural yang dihapus dengan tulisan “Tuhan, Aku Lapar” dan wajah Presiden Joko Widodo yang ditutup dengan tulisan “404: Not Found”. Mural ketiga di Tangerang bertuliskan “Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan” juga dihapus oleh Satpol PP. Aparat kepolisian di Pasuruan, Jawa Timur juga menghapus mural yang bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit”, dan mural di Bandung, Jawa Barat yang bergambarkan wajah presiden dengan kedua mata yang tertutup masker.

Tak hanya itu, aparat kepolisian juga melacak aktor yang melukis mural-mural tersebut, sekalipun beberapa darinya berujung hanya pemeriksaan dan pencabutan tuntutan. Sesaat pasca viralnya stori penghapusan mural tersebut, terdapat pria asal Tuban yang dipaksa menghaturkan permintaan maaf publik oleh aparat kepolisian setelah memasarkan kaos sablonan bergambar mural “404: Not Found” tersebut di sosial media.

Rentetan kejadian ini tentu menakutkan karena pasti muncul tanya ‘mural kok dibredeli di negara demokrasi?’ Bukankah ia merupakan bagian dari ekspresi publik yang kebebasannya sudah secara logika menjadi bagian dari demokrasi? Represi ini tentu traumatik karena menggemakan lanskap lumrah era Orde Baru yang otoritarian serta mencurangi impian demokratisasi era Reformasi itu sendiri.

Penghapusan mural ini menjadi tragedi dari seabrek gejala regresi demokrasi lainnya di Indonesia saat masa kepresidenan Jokowi. Mengkaji otoritarianisme di era Jokowi ini setidaknya bisa dieksplor melalui dua aspek, yaitu: a) aspek kebebasan ruang sipil; dan b) aspek politik. Disini kita dapat menyimpulkan bahwa mekanisme demokrasi yang diramu pada era Reformasi itu defektif dalam mencegah munculnya kembali otoritarianisme di Indonesia.

Penyempitan Ruang Sipil

Kembali ke soal mural, sejatinya kejadian seperti ini merupakan contoh dari penyempitan ruang sipil – atau menyempitnya ruang demokratis untuk masyarakat sipil. Ruang demokratis ini merupakan pengejawantahan dari hak sipil yang kebebasannya tidak boleh diintervensi, salah satunya adalah kebebasan berekspresi. Penyempitan ruang sipil merupakan problema kontemporer di Indonesia yang dapat menggerus hak sipil dan politik warga negaranya dan dapat memundurkan Indonesia kembali ke rezim otoritarianisme.

Tentu saja, pembuatan mural itu merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang telah dilindungi secara komprehensif dalam hukum Indonesia. Penjaminannya dapat ditemui dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan dan Pasal 23 ayat (2) UU 39/1999 tentang HAM. Bahkan melalui UU 12/2005, Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Namun dalam konteks penghapusan mural, aparat kepolisian berusaha menjustifikasi aksi-aksinya dengan menggeser narasi tentang hak asasi manusia menjadi tentang penegakan hukum. Mereka membingkai bahwa tindakan pembuatan mural dan kaos sablon tersebut memicu perpecahan dan ‘tidak sopan’ terhadap kepala negara, sehingga tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. 

Bahkan ada dalih dari kepolisian di Tangerang bahwa presiden merupakan lambang negara yang harus dilindungi. Padahal ini sangat keliru apabila menilik Pasal 1 angka (3) UU 24/2009 yang mengatur bahwa lambang NKRI adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Ancaman pasal yang diberikan kepada pembuat mural adalah Pasal 207 KUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap penguasa dan badan umum, serta Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 tentang ITE. Pasal 28 ayat (2) mengatur tentang larangan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu berdasarkan SARA.

Kedua ancaman ini problematik mengingat Pasal 207 KUHP telah diajukan uji materiil terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 silam dan MK telah memutuskan bahwa pasal tersebut berbentuk delik aduan yang hanya dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan. Kebebasan berekspresi semakin tergerus mengingat UU ITE merupakan produk hukum yang sarat akan pasal karet dan Pasal 28 ayat (2) tentu tidak dapat diaplikasikan pada kritik terhadap pemerintah, karena pasal tersebut mendasarkan ujaran kebenciannya pada unsur SARA.

Apabila kita ingin mundur sedikit dan memandang politik hukum dari pasal-pasal represif ini pada masa kolonial, kita dapat menyiratkan suatu ironi. Pasal-pasal seperti makar, ujaran kebencian, dan penghinaan terhadap presiden/penguasa pertama kali dikodifikasikan di Indonesia melalui Wetboek van Strafrecht  (WvS, yang kemudian menjadi KUHP). Gubernur Jenderal Hindia Belanda  J. B. van Heutsz memutuskan untuk memasukkan pasal-pasal tersebut dalam kitab hukum pidana Hindia Belanda adalah agar pergerakan nasionalisme rakyat bumiputera dapat direpresi dan dikriminalisasi. Sekarang pada zaman kemerdekaan, pasal dengan unsur-unsur yang serupa kembali diimplementasikan untuk membatasi kebebasan sipil warga negara Indonesia sendiri.

Untuk menghindari cap otoritarian dan polisi moral, maka aparat kepolisian yang memproses pelukis mural ini tidak dilanjutkan pada tahap penyidikan dan mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) – melalui permintaan maaf publik dan berdalih bahwa mural merupakan karya seni. Padahal, ini sudah melanggar kebebasan berekspresi karena chilling effect yang membuat publik pikir dua kali untuk mengkritik pemerintah sudah tercapai. Sejatinya penghormatan kebebasan berekspresi harus diartikan dengan nihilnya intervensi negara yang dapat membatasi kebebasan tersebut.

Jokowi seharusnya juga berwenang untuk memerintahkan Kepolisian RI agar aparaturnya harus menghormati hak sipil dan politik masyarakatnya, namun pihak istana malah ikut menggaungkan dalih kepolisian terkait paradigma penegakan hukum pada fiasko mural tersebut. Survei Indikator Politik Indonesia pada tahun 2020 memberi rapor merah pada lanskap demokrasi di Indonesia dimana 79,6% responden menilai bahwa warga makin takut menyatakan pendapatnya dan 73.8% makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes.

Kartelisasi

Mengkaji gejala otoritarianisme yang semakin marak di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari lanskap politik nasional. Hal ini dapat pula menjelaskan mengapa para pejabat publik dan politikus cenderung diam atau bahkan mendukung represi-represi seperti penghapusan mural.

Desain sistem ketatanegaraan Indonesia di era Reformasi memang kental dengan elan demokratisasi. Namun sejatinya, desain tersebut rentan menjadi perangkap terhadap praktik kartelisasi. Sistem politik kartel ini membolehkan partai untuk berkoalisi dengan siapa saja termasuk oposisinya dalam menjalankan pemerintahan demi terwujudnya kegagalan oposisi. Kegagalan oposisi ini berarti pemerintah akan minim resistensi dan pengawasan apabila melaksanakan kebijakan atau mengesahkan undang-undang yang ugal-ugalan dan tidak demokratis. Tindakan yang melanggar hak asasi manusia serta pengabaian aspirasi publik juga akan minim protes dari elemen pejabat publik dan politikus karena mereka semua telah berkoalisi untuk kepentingan tersendiri.

Beda dengan Orde Baru, menggagalkan peran oposisi tak perlu aksi yang represif atau penyederhanaan partai secara paksa – partai pemenang hanya perlu menggaet dukungan sebanyak-banyaknya sehingga terwujud koalisi mayoritas tunggal. Koalisi kartel ini tidak begitu susah untuk dicapai di Indonesia mengingat minimnya diferensiasi ideologi politik di antara partai-partai, dan tendensi partai untuk tidak ingin mengemban peran oposisi sekalipun ia dikalahkan di Pemilu.

Hal ini kemudian diperparah pula oleh presidential threshold yang terus dilanggengkan parlemen dalam sistem hukum pemilu Indonesia. Presidential threshold merupakan ambang batas minimal dalam perolehan suara di Pemilu Legislatif untuk partai politik agar dapat mengajukan calon presiden/wakil presiden. Angka ambang batas dalam UU 7/2017 itu tinggi sekali dan mustahil dicapai oleh satu partai politik, sehingga partai politik harus berkoalisi untuk mengajukan paslon. Dengan dilarangnya partai untuk tidak mengajukan paslon, maka demokrasi semakin terdekadensi esensinya menjadi kartelisasi.

Contoh ekstrem dari kartelisasi ini terjadi pada periode kedua Jokowi. Beberapa hari silam, PAN memutuskan untuk bergabung pada koalisi pemerintah sehingga partai yang mengidentifikasi dirinya sebagai oposisi di DPR tersisa dua, yakni Partai Demokrat dan PKS. Kedua partai tersebut menjadikan peran oposisi sangat tidak prominen mengingat rendahnya popularitas dan elektabilitas dibanding partai-partai yang bergabung di koalisi pemerintah saat ini.

Perangkap kartelisasi ini membuka kesempatan untuk masuknya pengaruh oligarki ke dalam arah gerak pemerintahan. Tentu ini menjadi masalah, karena politik oligarki di Indonesia pasca Orde Baru menjadi kaotik dan kolektif mengingat kontrol sultanistik Soeharto terhadap para oligarki telah lengser. Karakteristik ini muncul paling prominen pada masa kampanye periode kedua Jokowi yang sarat akan dukungan oligarki tambang dan media, serta dicalonkan oleh sepuluh partai. Setelah terpilih, Jokowi menggaet paslon rivalnya Prabowo-Sandi (yang keduanya juga merupakan oligarki tambang) untuk bergabung pada koalisi kartelnya dengan dilantiknya mereka berdua menjadi menteri.

Skenario politik ini semakin relevan mengingat bahwa prioritas kepemimpinan Jokowi selalu berbasis pada perkembangan ekonomi dan pembangunanisme. Kestabilan politik dalam artian minimnya hambatan oposisi dan dukungan oligarki yang telah dikonsolidasikan pertahanan kekayaannya oleh pemerintah sangat berarti dalam pemenuhan prioritas Jokowi.

Sehingga peran pemerintah lainnya seperti pemenuhan hak asasi manusia secara progresif dan pemberantasan korupsi dinomorduakan selama tidak bertabrakan dengan keramahan iklim investasi. Paradigma developmentalis otoritarian ini tentu traumatik mengingat bahwa 32 tahun kepemimpinan Soeharto juga menempuh jalur yang relatif sama.

Inilah yang dinamakan neo-otoritarianisme, dimana pemimpin mengadopsi langkah-langkah yang tidak demokratis demi perkembangan ekonomi. Dalam konteks penghapusan paksa mural, wajar saja Jokowi tidak bergeming bahwa kebebasan berekspresi konstituennya sedang dilanggar oleh kepolisian. Ditambah pula, kritik terhadap penanganan pandemi COVID-19 ini juga dikarenakan bahwa pemerintah Indonesia lebih berorientasi terhadap pemulihan ekonomi (spesifiknya ekonomi politik oligarki) daripada penanganan kesehatan.

Optimisme demokrasi pasca naiknya Jokowi ke tahta kepresidenan pada 2014 telah pudar. Sejak 2017, indeks demokrasi Indonesia telah jeblok dengan rerata 6,4 dan kini menempati peringkat 64, posisi terendah untuk Indonesia selama 14 tahun terakhir. Maraknya politik identitas dalam demokrasi liberal, ruang sipil yang semakin menyempit akibat represi dan hukum yang draconian, dan politik etis yang militeristik di Papua menjadi beberapa faktor jebloknya demokrasi tanah air.

Penulis: Pradnya Wicaksana (Koordinator Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp