Multidimensi Aspek Konflik Wadas menurut Kuasa Hukum LBH Yogyakarta

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Solopos.com

UNAIR NEWS – Warga di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah sedang berusaha mempertahankan tanah perkebunannya di Bukit Wadas yang terancam dijadikan wilayah pertambangan batu andesit. Pertambangan ini guna untuk menyokong pembangunan Bendungan Bener, yang digadang akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia. Dalam rangka mengadvokasikan hak-hak tersebut lewat jalur hukum, warga Desa Wadas menggandeng Julian Dwi Prasetya dari LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum.

Dalam webinar yang digelar oleh Amnesty International Indonesia (AII) Chapter UNAIR dan BEM FH UNAIR, Julian mengatakan bahwa konflik ini sistematis karena alih fungsi lahan perkebunan tersebut bertalian dengan ambisi pembangunan pemerintah di era Presiden Jokowi dalam skala masif.

“Kebijakan pembangunan di Indonesia itu erat dengan hegemoni kepentingan negara-negara dunia pertama, serta oligarki yang berkelindan di pemerintahan. Awal kebijakannya itu sudah ada dari zaman SBY dengan nama Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, tetapi oleh Jokowi diganti menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Bendungan Bener ini salah satunya,” ujar praktisi hukum itu.

Julian menjelaskan bahwa Bendungan Bener ini tidak pernah benar-benar diperuntukkan untuk pengairan sektor pertanian, tetapi memang untuk suplai air Bandara YIA dan perhotelan yang direncanakan dalam suatu aerotropolis. Dengan penyuksesannya yang destruktif dan represif, ia mengatakan bahwa aspek problematika ini multidimensional – menyangkut lingkungan hidup, agraria, tata ruang wilayah, hingga hak asasi manusia.

“Pertambangan batu andesit tentu akan merusak sumber penghasilan warga Desa Wadas dan sumber air untuk desanya. Padahal, tanah perkebunan itu sudah ditetapkan sebagai wilayah perkebunan semua dan milik warga desa juga. Belum lagi, pengeluaran amdal tambangnya juga ngawur – amdal pembangunan bendungan disatukan dengan amdal tambang dan tidak menggubris penolakan masyarakat pula,” paparnya.

Warga Desa Wadas menurut Julian juga dilanggar hak asasinya karena mereka terancam kehilangan sumber penghasilan utama desanya dengan uang ganti rugi yang tidak seberapa dibanding potensi omset dari lahan perkebunan. Ia juga menyayangkan respon aparat kepolisian yang represif ketika warga desa melakukan aksi demonstrasi untuk penolakan tambang.

“Padahal itu kan haknya mereka untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Apakah perlu sampai ibu-ibu diseret-seret oleh kepolisian? Peserta demo juga dipukuli dan ditangkap. Tanahnya mereka juga telah disengketakan dan wilayah lingkungannya terancam rusak, dan aparat sepertinya lebih berpihak pada kepentingan kapital. Inilah pelanggaran haknya,” tekan Julian.

Penyuksesan pembangunan ini menurut Julian sama sekali tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan dan nomenklatur kepentingan umum. Menurutnya, pelanggaran beberapa prinsip seperti prinsip pembangunan berkelanjutan, prinsip partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, dan prinsip keadilan antar generasi dan intergenerasi sangat mewarnai Konflik Wadas ini.

“Mereka seakan dianggap mengganggu kepentingan umum dalam penambangan batu andesit ini. Padahal dimana nomenklatur yang mengatakan bahwa pertambangan itu infrastruktur untuk kepentingan umum? Namun, kami tetap optimis menempuh jalur hukum sekalipun sudah beberapa kali dikecewakan oleh kualitas dan kompetensi pengadilannya”.

Julian menutup dengan mengatakan bahwa warga Wadas akan menggugat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di PTUN Semarang karena pembaharuan IPL tambang batu yang nirpartisipatif. Webinar amal ini digelar pada Sabtu pagi (7/8/2021) oleh Komite Kajian Lingkungan AII Chapter UNAIR dan Kementerian Pengabdian Masyarakat BEM FH UNAIR.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp