Dinamika Prestasi Olahraga Kita

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Cosmopolitan Indonesia

Perhelatan olahraga empat tahunan terbesar skala dunia akan digelar 23 Juli hingga 10 Agustus ini. Indonesia resmi memberangkatkan 28 atlet dan 17 official yang berlaga di delapan cabang olahraga (cabor). Rincian delapan cabor itu adalah atletik, panahan, rowing, menembak, bulutangkis, angkat besi, renang, dan selancar. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali mengungkapkan awalnya delegasi Indonesia hanya berjumlah 22 atlet dikarenakan situasi pandemi COVID-19 tetapi berkat usaha dan kerja keras dari seluruh pihak, maka 28 atlet dapat diberangkatkan ke Olimpiade Tokyo 2021.

Tercatat Indonesia pertama kali berpartisipasi dalam Olimpiade 1952 di Helsinki, Finlandia. Bila dihitung sejak 1952 maka Indonesia sudah berpartisipasi selama 18 kali. Meskipun demikian, Indonesia baru meraih medali saat tim panahan Indonesia merebut perak di Olimpiade Seoul 1988 lewat Kusuma Wardhani, Lilies Handayani dan Nurfitriyana. Raihan emas Indonesia baru direngkuh saat bulutangkis pertama kali diselenggarakan di Olimpiade Barcelona 1992 lewat aksi heroik Susy Susanti dan Alan Budikusuma yang kelak disebut Pengantin Olimpiade. Medali emas kemudian rutin diraih oleh tim bulutangkis Indonesia sampai saat ini, kecuali Olimpiade London 2012.

Kemunduran Prestasi Olahraga Kita

Beberapa dekade lalu, olahraga Indonesia pernah mengalami masa keemasan. Cabang olahraga sepakbola misalnya, pada masa itu, seluruh elemen masyarakat berbondong-bondong menonton dan mendukung tim merah putih bertanding melawan negara lain. Bahkan para supporter rela berdesak-desakkan hanya untuk mengantri di loket. Selain itu mereka juga menggunakan atribut kebanggaan nasional, bendera merah putih, baik yang dikibarkan ataupun dalam aneka ragam yang lain, sebut saja ikat kepala, bandana, dan lain-lain. Yel-yel penyemangatpun turut terdengar dari tribun sepanjang pertandingan. Saat itu, dapat dikatakan bahwa olahraga menjadi wahana yang efektif untuk mempersatukan bangsa.

Prestasi yang ditorehkan oleh Indonesia beberapa tahun lalu seolah bertolak belakang dengan saat ini. Hal ini dapat dilihat dari terpuruknya prestasi olahraga Indonesia, baik dilevel regional ataupun internasional. Sejak SEA Games Myanmar (2013) prestasi olahraga Indonesia sudah mengalami trend penurunan. Prestasi itu semakin terperosok saat SEA Games Singapura (2015), SEA Games Malaysia (2017) dimana Indonesia hanya menempati posisi ke-5. SEA Games Filiphina (2019) terakhir, Indonesia naik peringkat dengan tampil diposisi ke-4. Bahkan dalam tiga dekade terakhir, Indonesia hanya mencatatkan dua kali juara umum, yaitu SEA Games 1997 & 2011, dimana saat Jakarta ditunjuk sebagai tuan rumah.

Prestasi olahraga Indonesia di level tingkat Asia sejak tahun 2010 Guangzhou dan 2014 Incheon juga mengalami penurunan bila disandingkan dengan prestasi yang diraih oleh negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Syukurlah, prestasi olahraga Indonesia menunjukkan peningkatan pesat (lagi-lagi) saat Jakarta dan Palembang ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games 2018. Peningkatan tersebut dikarenakan tampilnya pencak silat yang memborong hampir seluruh medali dalam ajang itu.

Selain itu, prestasi cabang olahraga bulutangkis pun mengalami penurunan tajam. Sejak tahun 2002, Indonesia tidak pernah merebut Thomas Cup (Herdiansyah dkk, 2010). Tentu situasi tersebut sangat menurun tajam dibandingkan dengan dekade 1960-1990, dimana Indonesia menjadi langganan juara Thomas Cup, bahkan sempat mengawinkan piala Thomas dan Uber. Bahkan bulutangkis yang rutin meraih emas Olimpiade sejak 1992 harus terhenti saat Indonesia gagal mengibarkan sang saka Merah Putih di Olimpiade London 2012.

Dalam hal ini, kemunduran prestasi hampir menyeluruh diberbagai cabang olahraga.  Pendapat para ahli pun  bermunculan mengenai kemunduran prestasi olahraga kita. Mulai dari tidak adanya pembinaan atlet skala nasional, kekurangan sarana dan prasarana olahraga, kekurangan fasilitas olahraga, rendahnya kualitas sistem kompetisi tanah air, hingga minimnya pendanaan terhadap kegiatan olahraga (Herdiansyah dkk, 2010).

Masa Depan Olahraga Kita

Lantas, apa ada hubungannya antara prestasi Indonesia dengan kehidupan berbangsa dan bernegara? Tentu ada! Hal ini dapat dilihat dari kurang bersemangatnya masyarakat dalam menyaksikan pertandingan olahraga saat Timnas Indonesia berlaga. Mengingat pikiran kita akan berfokus pada kekalahan yang diderita olahraga kita. Penjabaran tersebut tampaknya relevan dengan pendapat Schults yang membeberkan bahwa mental pesimistis didapat dari lingkungan dan situasi yang pesimistis pula (Schultz & Schultz, 2006).

Self fulfilling propechy juga tumbuh pada situasi saat ini.  Dimana self fulfilling propechy merupakan kondisi saat harapan menciptakan suatu realitas (Baron Branscombe & Byrne, 2008). Bila dikaitkan dengan situasi prestasi olahraga Indonesia saat ini, dapat dikatakan bahwa harapan yang pesimis akan kemenangan menyebabkan realitas yang kalah mental sebelum bertanding. Dalam hal ini, apabila berlanjut pada masa mendatang, maka masa depan olahraga Indonesia semakin suram. Oleh karena itu, perbaikan prestasi diperlukan untuk meningkatkan mental juara.

Olimpiade Tokyo 2020 adalah ajang pembuktian bahwa prestasi olahraga Indonesia bisa bangkit. Sejauh ini, prestasi terbaik Indonesia dalam olimpiade saat digelar di Barcelona (1992) dimana lagu Indonesia Raya berkumandang dua kali diarena olahraga. Sebuah pertanyaan diajukan, mampukah Indonesia bangun dari ‘tidur panjangnya’ ataukah justru Indonesia masih ‘mati suri’ dan gagal menunjukkan ‘taringnya’? Kita tunggu saja!

Penulis: Dimas Bagus Aditya, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp