Perampasan Ruang Hidup Masyarakat dan Ekosistem Refleksikan Implementasi Ekonomi Biru di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Dictio Community

Ekonomi Biru atau Blue Economy merupakan sebuah konsep yang memaksimalkan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan manusia dan meningkatkan ekonomi. Oleh karena itu, tentunya Negara-negara kepulauan termasuk Indonesia akan menjadi aktor terdepan dalam implementasi konsep pembangunan ekonomi biru.

Massifnya pembangunan pesisir dan laut seperti tol laut dan pariwisata menunjukkan bahwa implementasi ekonomi biru menjadi salah satu fokus utama dalam pembangunan Indonesia. Jika melihat dari sisi dimana ekonomi biru ini berorientasi untuk memanfaatkan sumber daya laut dengan memerhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, tentu ini akan menjadi sebuah konsep yang amat tepat untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar.

Lalu yang menjadi sebuah pertanyaan adalah apakah fakta dilapangan menunjukkan demikian? Apakah benar kebijakan pembangunan laut dan pesisir Indonesia sudah menunjukkan keberpihakan kepada lingkungan dan masyarakat pesisir? Disini penulis ingin menyoroti beberapa contoh implementasi ekonomi biru yang menurut penulis sedikit kontras dengan konsep Sustainable Development Goals.

Reklamasi

Mari kita sedikit mengingat adanya polemik reklamasi Teluk Jakarta 2020 lalu ataupun reklamasi Teluk Benoa Bali yang hingga sekarang tak kunjung reda. Selain Bali dan Jakarta, masih banyak sekali proyek reklamasi yang sudah dikerjakan dan tidak tersorot media. Pro dan kontra hingga konfrontasi dari masyarakat selalu mengiringi megaproyek tersebut. Banyak pihak menentang lantaran reklamasi dianggap sebuah bentuk perusakan yang dapat menimbulkan bencana lingkungan.

Begitupun demikian dari segi sosial ekonomi, para nelayan kawasan pesisir juga sangat dirugikan. Pasalnya, mereka akan memerlukan lebih banyak bahan bakar untuk melaut karena adanya pulau-pulau reklamasi. Dilansir oleh Idntimes, salah satu nelayan didaerah Pelabuhan Muara Angke, Jakarta mengungkapkan bahwa karena adanya pulau reklamasi pendapatan mereka menurun secara drastis. Dimana sebelum reklamasi ia bisa meraup untung sekitar 1,5 Juta sekali berlayar, menjadi hanya 150 Ribu saja.

Hal tersebut terjadi karena adanya pulau reklamasi menggeser habitat dan ekosistem ikan sehingga para nelayan harus berlayar lebih jauh jika ingin mendapatkan tangkapan yang banyak. Hal itu tentunya akan meningkatkan kebutuhan bahan bakar dan beresiko bagi para nelayan kecil.

Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada tahun 2018, hampir disemua titik wilayah pesisir dan pulau kecil Indonesia terdapat proyek reklamasi. Dari total 79.348,9 Hektar luas lahan yang akan direklamasi, ditaksir akan berdampak terhadap sekitar 747.364 nelayan. Hal ini sungguh miris, dimana Konsep Ekonomi biru yang harusnya menunjukkan keberpihakan terhadap lingkungan dan masyarakat pesisir, justru melakukan perampasan ruang dan perusakan lingkungan melalui proyek-proyek reklamasi.

RZWP3K Media Validasi untuk Rampas Ruang Hidup Masyarakat Pesisir?

Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), merupakan peraturan daerah (perda) yang diterbitkan untuk memetakan pemanfaatan wilayah peisisir dan pulau kecil. RZWP3K dibuat untuk memaksimalkan pemanfaatan dan pembangunan wilayah pesisir melalui pembuatan zona pemanfaatan sesuai sumber daya yang ada dengan memperhatikan aspek keberlanjutan baik lingkungan maupun sosial ekonomi masyarakat pesisir. Fakta menunjukkan, RZWP3K yang harusnya mengedepankan masyarakat pesisir sebagai aktor terdepan justru tidak dilibatkan dalam penyusunanya.

Beberapa contoh kasus seperti yang dilansir oleh Tribunkaltim.com penyusunan Raperda RZWP3K di Kalimantan Timur sama sekali tidak melibatkan nelayan dan masyarakat pesisir. Sebagian besar hanyalah institusi pemerintah dan perusahaan dan bahkan sosialisasi terhadap rencana penyusunan RZWP3K ini juga tidak dilakukan oleh Pemerintah Kalimantan Timur. Tentunya hal ini sangat merugikan masyarakat pesisir. Bagaimana tidak, peraturan yang menyangkut hajat hidup dan keselamatan ruang hidup masyarakat pesisir justru tidak menghadirkan dan mempertimbangkan pendapat mereka. Bukan tidak mungkin jika nanti dalam penyusunannya akan “ditunggangi” kepentingan golongan yang justru akan menjadikan RZWP3K sebagai validasi untuk merampas ruang hidup masyarakat pesisir.

Selain hal tersebut, beberapa RZWP3K yang sudah diterbitkan juga tidak mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat pesisir. Dilansir oleh Tempo pada tahun 2019, RZWP3K di wilayah Kalimantan Utara mengalokasikan 45% (sekitar 36.049 hektar) untuk pengembangan pelabuhan. Sementara di Lampung 31% dari zonasi wilayah pesisir dan pulau kecilnya untuk aktivitas pertambangan dan di Sulawesi Utara, melegalkan aktivitas reklamasi melalui RZWP3K yang mereka terbitkan. Beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa penerbitan RZWP3K yang seharusnya menimbang kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pesisir terkesan abai dan malah melakukan perampasan ruang hidup masyarakat peisisir sehingga mereka terpinggirkan.

KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional)

Dalam rencana pembangunan kepariwisataan, Indonesia menetapkan 10 destinasi wisata prioritas sebagai KSPN dan penerbitan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor p.8/menlhk/setjen/kum.1/3/2019 yang juga disebutkan tentang peningkatan investasi untuk pariwisata.  Masih hangat dibenak kita, foto komodo yang seakan menghadang alat berat di Labuan Bajo gempar dijagat media sosial. Bagaimana tidak, wilayah konservasi dari komodo, reptile yang merupakan 7 keajaiban dunia dengan massifnya dibangun infrastruktur wisata oleh PT Segera Komodo Lestari. Melalui KEPUTUSAN BKPBKPM NO 7/1/IUPSWA/PMDN/2015 perusahaan tersebut menguasai 22,1 hektar dengan kontrak 52 tahun.

Ini merupakan sebuah bukti kongkrit adanya inkonsistensi pemerintah terhadap kepedulian kelestarian lingkungan. Wilayah-wilayah konservasi yang seharusnya dijaga dari aktivitas yang sifatnya destruktif, malah dengan mudahnya diberikan izin pembangunan dengan dalih pengembangan wisata dan investasi.

Bukan maksud penulis untuk anti terhadap investasi atau menolak pembangunan dan pengembangan wilayah laut dan pesisir. Namun disini penulis berharap, dalam pengimplementasian Ekonomi Biru yang sejauh ini terkesan terlalu berpihak terhadap investasi dan ekonomi negara bisa lebih mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan peningkatan ekonomi rakyat, khususnya masyarakat pesisir. Jangan sampai nanti kita menyesal lantaran “mengorbankan” kekayaan ibu pertiwi semata-mata hanya untuk menguntungkan investor asing sementara bangsa kita tidak memperoleh apa-apa.

Penulis: Ivan Syahrial Abidin

Mahasiswa Akuakultur dan Ketua Garuda Sakti PSDKU Universitas Airlangga di Banyuwangi

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp