Eksplorasi Bakteri Fiksasi Nitrogen pada Ekosistem Lahan Gambut

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Money Kompas

Ekosistem gambut yang tersebar di Indonesia berpotensi menyimpan keanekaragaman hayati mikroba. Wilayah ini tersebar di Sumatera (4.778 juta hektar), Kalimantan 4.778 juta hektar), dan Papua (3,69 juta hektar). Komponen utama gambut berupa karbon (60%) merupakan sumber karbon esensial bagi mikroba, selain fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg) yang merupakan makronutrien juga terdapat pada jenis tanah ini. Sedangkan unsur mikronutrien yang juga komplementer, seperti Tembaga (Cu), Seng (Zn), Mangan (Mn), dan Besi (Fe) jumlahnya cukup baik. Keberadaan unsur hara pada tanah gambut sangat mendukung keanekaragaman hayati mikroba, yang juga mendukung keanekaragaman hayati flora dan fauna. Mikroba dalam tanah merupakan bagian penting dari proses pembusukan dan sekaligus menjadi indikator kualitas suatu ekosistem. Salah satu mikroba penting di tanah gambut adalah bakteri pengikat nitrogen. Selain itu, untuk membantu pemecahan bahan organik, mikroba di tanah gambut berperan penting dalam menyediakan nutrisi bagi tanaman dan menghasilkan enzim yang memungkinkan tanaman untuk tumbuh dengan baik.

Bakteri Pengikat Nitrogen (BPN) adalah kelompok bakteri yang memiliki enzim nitrogenase yang mampu mengikat nitrogen (terutama N2) bebas dari atmosfer dan kemudian mereduksinya menjadi senyawa amonia (NH4) dan ion nitrat (NO3-). BPN diklasifikasikan menjadi dua jenis mikroba penyusun pupuk hayati, yaitu simbiosis dengan sistem perakaran dan non simbiosis (hidup bebas di lingkungan). Simbiosis BPN termasuk Rhizobium, sedangkan bakteri pengikat nitrogen non-simbiotik adalah Azotobacter dan Azosprillum. Jenis lainnya adalah Streptomyces dan Lactobacillus sp. yang mengandung enzim pemecah selulosa, sehingga mempercepat pemecahan bahan organik dan meningkatkan unsur hara tanah. BPN tersebar di habitat tanah subur dan tanah marjinal dengan keanekaragaman dan populasi yang berbeda. Tanah gambut merupakan tanah marginal yang memiliki kesuburan rendah yang ditandai dengan pH rendah (3,0 – 5,0), dan kadar air tinggi. Namun demikian, lahan gambut masih dapat digunakan sebagai lahan yang berpotensi produktif [7]. Lahan gambut tropis berperan penting dalam menjaga stabilitas berbagai ekosistem. Konversi fungsi yang cepat pada lahan gambut, sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk, semakin mengurangi luas lahan gambut. Kegiatan tersebut berdampak pada perubahan struktur komunitas mikroba dan bakteri tanah gambut. Selain itu, potensi terjadinya proses transformasi nitrogen dalam tanah juga terjadi [8]. Sehingga penelitian tentang studi bakteri di lahan gambut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pertanian dan perikanan.

Peran Bakteri dalam Tanah Gambut

Deforestasi lahan gambut untuk berbagai tujuan mempengaruhi dinamika dekomposisi dan emisi gas rumah kaca. Pada gambut yang telah berubah fungsi terjadi perubahan kualitas substrat gambut yang secara langsung berkaitan dengan komposisi dan sifat komponen biotiknya serta memiliki biomassa mikroba dan aktivitas enzim yang lebih rendah. Lahan gambut tropis memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian berbagai ekosistem di sekitarnya. Namun, luas gambut semakin berkurang karena berbagai aktivitas manusia. Seperti konversi lahan gambut untuk pertanian, perkebunan bahkan pemukiman. Terdapat perbedaan struktur komunitas bakteri tanah dan Archae yang berperan dalam transformasi nitrogen di lahan gambut alami dan terbuka. Secara umum di dua kawasan gambut dapat dijumpai Proteobacteria, Actinobacteria, Acidobacteria dan Firmicutes, dengan jumlah yang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan fungsi lahan kelapa sawit yang menunjukkan adanya perbedaan jumlah koloni di setiap wilayah pengambilan sampel. Jumlah koloni bakteri pengikat nitrogen tertinggi ditemukan pada kedalaman 15-30 cm pada tipe lempung dengan vegetasi kelapa sawit berkisar 88,3 x 106 CFU / gram.

Pada lahan gambut yang telah ditanami kelapa sawit dengan kedalaman 0-15 cm dan 1-30 cm, hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah koloni bakteri pengikat nitrogen berkisar antara 79,2 x 106 CFU gram-1 dan 10 77,1 x 106 CFU gram-1. Kedua lokasi tersebut merupakan wilayah sistem rhizosfer dengan vegetasi kelapa sawit yang banyak menghasilkan eksudat akar. Di rizosfer, populasi bakteri lebih banyak daripada populasi di bagian lain tanah, karena perkembangan mikroba dipengaruhi oleh aktivitas metabolisme akar tanaman di sekitarnya. Jumlah bakteri di dalam tanah bervariasi karena perkembangan bakteri sangat bergantung pada kondisi tanah. Pada umumnya jumlah kuman ditemukan di lapisan atas. Jumlah yang dapat ditemukan di dalam tanah berkisar antara 3-4 milyar per gram tanah kering dan berubah sesuai musim. Populasi mikroba tertinggi di lahan gambut ditemukan di rizosfer tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman kurang dari enam tahun dibandingkan di rizosfer tanaman yang lebih tua. Kondisi ini menyebabkan aktivitas pemupukan menyebabkan senyawa non polar dan volatilitas rendah sulit diserap oleh akar dan lebih banyak terurai di rizosfer. Hasil dekomposisi tersebut kemudian digunakan oleh mikroba yang ada di sistem perakaran. Proses pemupukan yang dilakukan pada kegiatan perkebunan kelapa sawit, aerasi pada lahan gambut yang ditanami kelapa sawit juga berkontribusi dalam perbaikan nutrisi tanah, sehingga mendorong pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam mengubah bahan organik. Namun demikian, pada lahan gambut yang telah dibuka atau telah beralih fungsi menjadi pertanian, terdapat penurunan aktivitas mikroba jika dibandingkan dengan hutan gambut yang masih alami.

Pada penelitian ini hasil uji urease menunjukkan bahwa semua isolat bereaksi positif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa isolat yang diperoleh dari hasil penelitian ini merupakan isolat yang potensial untuk dikembangkan dan diaplikasikan sebagai pupuk hayati. Karena semua isolat tidak hanya mampu mengikat nitrogen tetapi juga mengubah nitrogen menjadi amonia yang akan digunakan langsung oleh tanaman. Dalam kegiatan pupuk hayati, sektor pertanian banyak menggunakan, namun juga tidak menutup kemungkinan kegiatan perikanan yang juga menggunakan pupuk hayati dalam budidaya plankton pada tahap awal budidaya udang dan produksi pakan alami. Penggunaan pupuk hayati dan penggunaan bakteri secara bersama-sama diharapkan menjadi pola pengelolaan budidaya perikanan yang ramah lingkungan dengan tetap menjaga sistem ekologi yang baik.

Kesimpulan

Hasil isolasi awal diperoleh 25 isolat bakteri pengikat nitrogen dengan karakteristik koloni yang berbeda. Jumlah koloni bakteri tertinggi ditemukan pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm dengan kondisi lahan gambut yang telah ditanami vegetasi kelapa sawit. Hasil ini terjadi pada proses penambahan unsur dari aktivitas perkelahian yaitu pemupukan dan aerasi yang dilakukan di perkebunan kelapa sawit yang memberikan banyak nutrisi bagi bakteri di sekitar rhizosfer. Berdasarkan hasil pengujian urease pada 14 isolat, semua isolat positif mampu mendegradasi urea menjadi amonia, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi pupuk hayati. Potensi isolat dalam pengikat nitrogen perlu dilakukan pengujian agar dapat berperan penting dalam menjaga keseimbangan nitrogen di ekosistem lain.

Penulis: Dr. Eng. Sapto Andriyono, S.Pi., M.T

Tulisan lengkap dapat ditemukan pada :

Lubis, S. S., & Andriyono, S. (2021, March). Preliminary study of nitrogenous fixation bacteria exploration under palm tree vegetation on peatland ecosystem. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 718, No. 1, p. 012067). IOP Publishing.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp