Penanganan Kegawatan Emboli Paru Akut pada Pasien Kardiomiopati Dilatatif

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Majalah Anestesia and Critical Care

Emboli paru merupakan salah satu kegawatan di bidang penyakit jantung dan pembuluh darah  yang dapat membahayakan jiwa. Sebagian besar pasien dapat meninggal hanya dalam beberapa jam pertama setelah kejadian emboli paru akut. Walaupun terdapat kemajuan teknologi kedokteran yang pesat, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis emboli paru masih merupakan masalah yang sering dihadapi.

Di Amerika Serikat, emboli paru dapat menyebabkan sekitar 300.000 kematian dalam setahun. Hal ini menjadikan emboli paru sebagai salah satu penyebab kematian kardiovaskular tertinggi. Pada sekitar 454,4 juta populasi di enam negara Eropa pada tahun 2004, didapatkan lebih dari 370.000 kematian akibat tromboemboli pembuluh darah vena. Pada pasien ini, 34% meninggal mendadak dalam beberapa jam setelah kejadian akut sebelum pengobatan dapat mulai diberikan. Oleh sebab itu, menjadi hal yang penting untuk dapat mengenali tanda dan gejala emboli paru akut sehingga dapat menentukan diagnosis dan penanganan secara cepat dan tepat agar dapat menurunkan angka kematian pasien dengan emboli paru akut.

Kami memberikan sebuah ilustrasi kasus, laki-laki berusia 37 tahun yang dirujuk ke IGD rumah sakit dengan keluhan sesak nafas disertai bengkak pada kedua kaki. Selain itu, pasien juga memiliki riwayat adanya gumpalan darah pada pembuluh darah vena kaki. Pasien juga diketahui memiliki riwayat diabetes mellitus dan penyakit jantung. Saat awal diperiksa di IGD, didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 128 kali per menit, frekuensi napas 26 kali per menit, saturasi oksigen 99% dengan suplementasi oksigen kanula nasal 3 liter per menit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan distensi pembuluh darah vena leher, suara napas paru tambahan ronki halus, pembesaran liver, dan bengkak pada kedua tungkai bawah. Pemeriksaan ekokardiografi didapatkan kebocoran katup mitral derajat sedang, pelebaran semua ruang jantung, tampak gumpalan darah besar dari pembuluh darah vena besar hingga pada atrium kanan jantung, disertai adanya gangguan daya pompa otot jantung derajat berat.

Pasien tersebut didiagnosis sebagai kardiomiopati dilatatif, gagal jantung akut, emboli paru, dan diabetes mellitus tipe II. Selama perawatan, pasien mendapatkan terapi Furosemid, Spironolakton, Ramipril, Bisoprolol, Enoxaparin, dan Insulin. Namun, dalam perjalanan perawatan di ruang rawat inap, pasien mendadak mengeluhkan sesak napas disertai nyeri dada dan keringat dingin. Pasien menunjukkan tanda-tanda kegawatan dengan penurunan tekanan darah, peningkatan detak jantung dan frekuensi napas. Atas dasar tersebut, dilakukan asesmen ulang menjadi emboli paru akut tidak stabil. Selanjutnya, pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif penyakit jantung dan dilakukan tindakan reperfusi untuk menghancurkan gumpalan daran pada pembuluh paru.

Selama di ruang perawatan intensif, pasien mendapatkan obat-obatan untuk membantu mempertahankan tekanan darah yaitu Norepinefrin dan Dobutamin dengan dosis titrasi. Reperfusi dilakukan dengan memberikan Streptokinase (obat penghancur gumpalan darah) dosis awal 250.000 unit selama 30 menit lalu dilanjutkan dengan 100.000 unit per jam selama 24 jam. Setelah prosedur ini selesai, kondisi pasien menjadi lebih baik hingga obat-obat suportif tekanan darah dapat dilepas secara bertahap. Setelah kondisi stabil, pasien dipindahkan ke ruang rawat inap biasa hingga pasien dipulangkan dengan terapi antipembekuan darah dalam jangka panjang.

Emboli paru dapat terjadi ketika gumpalan darah (trombus) lepas menuju pembuluh arteri di paru-paru sehingga menghalangi aliran darah ke paru-paru. Emboli paru dapat muncul akibat gumpalan darah dari pembuluh vena dalam kaki yang lepas. Setelah menuju ke paru-paru, gumpalan darah besar dapat menempel pada percabangan utama pembuluh. Emboli paru bukanlah merupakan penyakit dasar tersendiri. Namun, hal ini merupakan komplikasi dari adanya gumpalan pembuluh vena yang mendasarinya. Pada pasien ini, penyakit yang mendasari emboli paru adalah adanya gumpalan darah pada pembuluh vena kedua kaki. Hasil USG pembuluh darah ditemukan gumpalan pada pembuluh vena paha dan lutut kanan maupun kiri. Selain itu, ekokardiografi juga menunjukkan adanya gumpalan besar sepanjang pembuluh vena besar hingga ruang jantung atrium kanan.

Pada pasien ini, didapatkan gejala klinis sesak napas, nadi cepat, nyeri dada, batuk, bengkak pada kedua kaki, disertai tekanan darah yang rendah. Oleh sebab itu, kondisi syok pada pasien ini menjadi dasar penentuan stratifikasi risiko tinggi.Hipotensi atau syok terjadi akibat kegagalan fungsi ventrikel kanan akut akibat gumpalan darah yang menyumbat pembuluh paru sehingga meningkatkan beban bagi jantung kanan. Obat-obat suportif diperlukan untuk membantu memperbaiki tekanan darah. Selain itu, hal terpenting yang harus dilakukan pada pasien ini adalah terapi reperfusi dengan Streptokinase, sehingga pada akhirnya dapat memberikan luaran klinis yang baik untuk pasien. Antipembekuan darah jangka panjang harus diberikan setidaknya selama tiga bulan untuk mencegah kekambuhan penyakit.

Semua pasien emboli paru membutuhkan stratifikasi risiko dengan cepat dan tepat. Terapi reperfusi harus diberikan pada pasien emboli paru akut dengan kondisi klinis hipotensi dan tidak memiliki risiko tinggi perdarahan. Kita tidak boleh menunda reperfusi pada pasien ini karena berpotensi terjadi syok dan gagal jantung yang menetap. Penilaian derajat keparahan emboli paru, kemungkinan keberhasilan, dan risiko perdarahan menjadi dasar penentukan apakah terapi reperfusi dapat diberikan.

Penulis: Hendri Susilo

Informasi lengkap artikel ini dapat dilihat di

https://f1000research.com/articles/10-13/v3

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp