Selebrasi Hari Perempuan Internasional AII Chapter UNAIR Ditutup oleh Dialog Bersama KIARA

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Selebrasi Hari Perempuan Internasional AII Chapter UNAIR Ditutup oleh Dialog Bersama KIARA. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Dalam merayakan Hari Perempuan Internasional 2021, Amnesty International Indonesia (AII) Chapter UNAIR merilis sejumlah seri talkshow di laman Instagram mereka bersama enam tokoh pembela hak asasi perempuan. Talkshow ini mengajak mereka untuk menceritakan seluk beluk perjuangannya mereka sebagai perempuan pembela hak asasi manusia.Seri terakhir dari rangkaian perhelatan ini rilis pada Rabu sore (17/3/2021) dengan mengundang Susan Herawati, selaku Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Susan, sapaan karibnya, menjelaskan bahwa KIARA hadir sebagai organisasi yang menjembatani aspirasi-aspirasi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, yang spesifiknya merupakan nelayan. Ia menambahkan bahwa eksistensi organisasi ini didasari oleh keresahan akan kesenjangan ekonomi yang dialami oleh para nelayan di suatu negara yang sangat membanggakan identitasnya sebagai negara maritim.

Rantai produksi perikanan di Indonesia tentu tak sedikit melibatkan perempuan. KIARA mencatat sekitar 48% dari total pendapatan ekonomi nelayan di Indonesia berasal dari nelayan perempuan dengan jam kerja sekitar 17 jam tiap harinya. Namun Susan mengatakan bahwa pengakuan politik terhadap nelayan perempuan ini sangat minim.

“Adanya unsur patriarki dalam perspektif yang memandang bahwa perempuan dalam perikanan hanya sebatas istri dari nelayan saja, padahal perempuan yang melaut juga banyak. Minimnya pengakuan ini hingga ke dalam pengambilan kebijakan oleh negara,” tuturnya.

Pada umumnya, problema yang sekarang dihadapi oleh para nelayan adalah berkurangnya kedaulatan atas ruang hidupnya karena efek pembangunan masif. Susan mencontohkan problema ini dengan kasus-kasus seperti Kasus Pulau Pari dan Pulau Kodingareng, dimana para perempuan nelayan memprotes pengambilan pasir oleh perusahaan Belanda.

“Hal ini tentu diperburuk dengan kebijakan yang sangat pro dengan liberalisasi perikanan, ambil contoh adalah UU Cipta Kerja. Produk hukum ini juga mengatur terkait perikanan tetapi tidak sama sekali melibatkan kelompok nelayan. Itu terbukti dalam kebijakannya, seperti definisi nelayan tradisional yang dihapus, sekalipun 98% nelayan di Indonesia itu nelayan tradisional. Kemudahan kapal asing untuk masuk dalam ZEE Indonesia, dan masih banyak lagi,” tegas Susan.

Susan mengatakan bahwa jalan terkait emansipasi hak-hak nelayan perempuan masih panjang. Ia bercerita terkait usaha KIARA bersama banyak organisasi lain untuk membentuk Persaduaraan Perempuan Nelayan Indonesia. Gebrakan yang berusaha dibuat antara lain adalah berusaha memasukkan definisi terkait nelayan perempuan dalam perumusan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Susan menambahkan bahwa perjuangan itu gagal, dan rekognisi terkait nelayan perempuan hanya sebatas dalam ranah rumah tangga nelayan.

“Jadi sekali lagi bukti bahwa perempuan nelayan kembali didomestifikasi perannya. Gebrakan yang mungkin lebih berhasil adalah upaya kami memperjuangkan 31 nelayan perempuan untuk merubah status pekerjaannya dalam KTP dari ibu rumah tangga, menjadi nelayan. Itu saja membutuhkan dua tahun dan banyak cercaan dari pihak pemerintah,” pungkasnya.

Namun Susan berpesan untuk jangan patah arang dalam perjuangan ini. Ia menutup sesinya dengan berkata bahwa perjuangan perempuan ini sejatinya harus didasarkan demi masa depan generasi Indonesia kedepannya, bahwa mereka harus berdaulat dan merdeka atas tanah dan lautnya mereka sendiri, bukan sekadar penonton.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan 

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp