Pakar UNAIR Ulas Influensi Kolonialisme terhadap Fungsionalisme Ilmu Pengetahuan di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Peneliti HRLS UNAIR Herlambang P. Wiratraman ketika sedang memaparkan resensinya terkait buku Andrew Goss dalam acara bedah buku yang diadakan pada Rabu malam (11/2/2020) oleh Suluh Pergerakan x Komunitas Bambu. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Pada Rabu malam (10/2/2021), komunitas Suluh Pergerakan menggandeng Komunitas Bambu untuk mengadakan SUPERKOBAM (Suluh Pergerakan x Komunitas Bambu), sebuah acara bedah buku. Buku yang akan ditelaah dalam kegiatan ini adalah “Belenggu Ilmuwan & Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru” karya Andrew Goss, seorang sejahrawan dan antropolog asal Amerika Serikat. Acara ini menggandeng banyak sekali kerjasama dari berbagai komunitas ilmuwan lainnya, salah satunya adalah Human Rights Law Studies (HRLS) UNAIR. Salah satu penelitinya, Herlambang P. Wiratraman, tampil menjadi pemantik.

Premis dari buku ini menganalisa perkembangan kehidupan profesional para naturalis dan ahli biologi di Indonesia demi menceritakan apa yang terjadi ketika kepada ilmu pengetahuan ketika pemerintah memiliki pengaruh yang sangat kuat, atau bahkan absolut. Hal ini dikarenakan bahwa ilmu natural dan biologi pada masa kolonial Hindia Belanda diprioritaskan untuk mengeksploitasi kekayaan alam tanah jajahannya. Goss berpendapat bahwa paradigma yang mendekadensi ilmu pengetahuan ini tetap dibawa dan digunakan selama zaman kemerdekaan hingga Orde Baru, dua rezim opresif di penggalan sejarah Indonesia.

Herlambang berpendapat bahwa opini Goss terkait ilmuwan digunakan sebagai gendak kekuasaan ini juga dapat dikomparasikan dengan perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Bagaikan budaya kantoran, jadi fungsionalisme dan perkembangan ilmu hukum selama masa kolonial ini harus searah dengan kepentingan politik pada masa itu, tidak pernah benar-benar otonom.

“Pada waktu itu posisinya Kerajaan Belanda ingin membangun sistem hukum dan tata pemerintahan di tanah jajahannya, yaitu Hindia Belanda. Produksi pengetahuan entah itu dalam ilmu naturalis atau hukum itu selalu terdapat tujuan-tujuan tertentu,” ujar pakar Hak Asasi Manusia itu.

Ilmuwan hanya digunakan sebagai kemaslahatan proyek-proyek kolonial ini juga menghasilkan relasi kuasa yang tidak setara antara pemerintah dengan ilmuwannya pada kala itu. Era Pencerahan sejatinya hanya untuk birokrat-birokrat saja, menghasilkan istilah floracrats yang digunakan oleh Goss untuk mendeskripsikan ilmuwan botani yang menjelma birokrat. Dikisahkan juga dalam buku tersebut terkait seorang ilmuwan yang akhirnya tidak puas dengan belenggu dan degradasi ilmu pengetahuan tersebut akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Belanda.

Berkaca dari sini, Herlambang menceritakan kisah yang senada dalam perkembangan ilmu hukum di masa kolonial. Cornelis van Vollenhoven, seorang ilmuwan hukum dari Leiden University, kala itu dimandati dan didanai untuk mengembangkan sistem hukum yang ideal untuk Hindia Belanda. Setelah menyelesaikan risetnya, Van Vollenhoven justru berbalik dan menolak untuk menggantikan sistem hukum adat yang telah berkembang disana karena itu tidak manusiawi dan merusak tatanan sosial.

“Respon dari pemerintah kolonial dari keengganan Van Vollenhoven adalah mengalihkan dana riset untuk Leiden University ke Utrecht University yang ingin sejalan dengan pemerintah kolonial,” tutur alumni Leiden University itu.

Acara bedah buku ini juga mengundang Sudirman Nasir dan Evi Eliyanah, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) sebagai pemantik.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp