Kemiskinan Mendorong Terjadinya Pernikahan Dini di Wilayah Perdesaan di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Kompasiana com

Pernikahan dini adalah sebuah pernikahan yang dilakukan sebelum umur 19 tahun. Batasan umur  ini merujuk pada Undang-Undang 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pernikahan dini merupakan masalah global yang masih ditemukan di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, khususnya di kawasan Timur Indonesia. Studi sebelumnya menginformasikan bahwa rata-rata umur pernikahan dini di Kosovor-Albania adalah 17,3 tahun, sementara di Barat Laut Ethiopia adalah 17,0 tahun.  Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa diperkirakan 17 persen anak perempuan menikah di usia kurang dari 18 tahun di Indonesia. Selanjutnya SDKI tahun 2017 melaporkan terjadinya perubahan tren pernikahan yaitu 63,7% anak perempuan Indonesia menikah pada usia 20 tahun. 

Beberapa penelitian telah melaporkan adanya dampak negatif yang diakibatkan oleh pernikahan dini, seperti masalah kesehatan reproduksi dan kejadian kekerasan pada perempuan. Pernikahan dini yang terkait dengan masalah kesehatan reproduksi yaitu ketidaksiapan organ reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan, praktik aborsi yang tidak aman, dan bahkan kematian ibu. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa kejadian kekerasan pada perempuan lebih tinggi terjadi pada perempuan dengan umur yang lebih muda. Studi di Mesir sebelumnya melaporkan bahwa perempuan yang menikah < 18 tahun memiliki perbandingan 1,16 kali mengalami kekerasan fisik dibanding perempuan yang menikah > 18 tahun, dan perbandingan tersebut lebih tinggi lagi, sebesar 2,38 kali, untuk mengalami kekerasan seksual.  

Lebih jauh lagi, pernikahan dini juga berdampak buruk pada status kesehatan anak. Pasangan dari pernikahan dini berhubungan dengan berat badan lahir rendah, sampai dengan kematian anak. Sementara studi lain di Malaysia juga menginformasikan keterkaitan antara pernikahan dini di wilayah tersebut dengan kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah. Pernikahan dini seringkali berkaitan dengan status sosioekonomi keluarga sebelumnya yang rendah. Pernikahan dini merupakan salah satu solusi untuk lepas dari kesulitan ekonomi bagi keluarga perempuan. Bagi keluarga, tidak hanya untuk melepaskan beban ekonomi satu anggota keluarga, lebih jauh diharapkan anak perempuan yang sudah menikah juga diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga. 

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa praktik pernikahan dini lebih sering terjadi di wilayah perdesaan dibanding perkotaan. Praktik pernikahan di perdesaan sangat kental dengan unsur budaya yang lebih permisif terhadap pernikahan dini dibanding perkotaan. Perempuan perdesaan yang mendekati umur 20 tahunan dan belum menikah, dianggap sebagai perawan tua. Tinggal di perdesaan juga identik dengan adanya keterbatasan akses ke pelayanan kesehatan dan informasi tentang kesehatan, termasuk informasi kesehatan reproduksi remaja. Kesehatan reproduksi remaja seringkali dikaitkan dengan kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual, dan layanan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis hubungan status sosioekonomi terhadap kejadian pernikahan dini di wilayah perdesaan Indonesia.

Artikel ini ditulis sebagai analisis lanjut dari data Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2017. Sampel yang digunakan sebanyak 2.252 perempuan usia 19-24 tahun yang tinggal di wilayah perdesaan di Indonesia. Variabel yang dianalisis meliputi pernikahan dini, status sosioekonomi, tingkat pendidikan, dan status bekerja. 

Status sosioekonomi dan tingkat pendidikan berhubungan secara signifikan dengan pernikahan dini pada prempuan 19-24 tahun di perdesaan Indonesia. Perempuan paling miskin memiliki kemungkinan lebih tinggi 2,230 kali untuk mengalami pernikahan dini dibandingkan perempuan paling kaya. Perempuan miskin memiliki kemungkinan lebih tinggi 1,683 kali mengalami pernikahan dini dibandingkan perempuan paling kaya.  Selain sosio-ekonomi, tingkat pendidikan juga ditemukan turut mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Perempuan yang tidak sekolah, pendidikan SD-SLTP, dan SLTA memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami pernikahan dini dibandingkan lulusan perguruan tinggi, berturut-turut sebesar 10,337 kali, 12,100 kali, dan 4,521 kali. Faktor tingkat pendidikan lebih dominan hubungannya dengan pernikahan dini dibandingkankan dengan faktor status sosio-ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti merekomendasikan satu hal. Pemerintah harus memberi perhatian khusus pada remaja putri miskin dengan tingkat pendidikan rendah di perdesaan.  Remaja putri miskin dengan tingkat pendidikan rendah harus menjadi fokus sasaran program penurunan cakupan pernikahan dini di Indonesia.

Penulis: Ratna Dwi Wulandari
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya 

Artikel dapat ditemukan pada tautan berikut: http://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/kespro/article/view/3870

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).