Mengenal Human Migration dan Psikologi Antropologi dalam Ranah Kesehatan dan Keilmuan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Dalam memahami suatu fenomena melalui kacamata akademis, pendekatan lintas sektor seringkali dibutuhkan agar memperoleh pemahaman yang lebih progresif. Hal tersebut yang kemudian mendorong Forum Ilmiah dan Studi Mahasiswa (FORISMA) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) menggelar webinar Lintas Fakultas INTERSECTION 10.00 pada Minggu (20/12/2020).

Dalam gelaran bertajuk ‘Break the Limit: Multifield Research Opportunities’ tersebut, turut hadir dua pembicara dari kalangan sains dan sosial yang memberikan pandangannya terkait kesehatan dalam perspektif migrasi manusia serta antropologi.

Dosen FK UNAIR M. Miftahussurur, dr. M.Kes., Sp.PD-KGEH., Ph.D. sebagai pembicara pertama mengungkapkan bahwa jejak sejarah migrasi manusia mampu menggambarkan kesehatan serta penyakit pada setiap ras manusia. dr Miftah menjelaskan di mana manusia pada dasarnya berasal dari wilayah geografi yang sama, yakni Afrika.

“Dari sana migrasi mulai terjadi dan manusia terpecah menjadi dua kelompok. Ada yang ke wilayah Eropa maupun Asia. Hal tersebut yang kemudian mendorong perubahan genetik dan membentuk berbagai ras manusia mengikuti situasi geografi yang mereka diami,” jelas Wakil Rektor IV UNAIR tersebut.

Mutasi genetik tersebut yang kemudian menimbulkan perbedaan kesehatan dan penyakit yang menjangkiti masing-masing ras manusia. dr Miftah yang berfokus pada bidang penelitian bakterial mengungkapkan bahwa terdapat satu bakteri yang mampu menjelaskan jejak migrasi maupun kesehatan manusia, yakni Helicobacter pylori.

Bakteri yang sering menjadi penyebab kanker lambung tersebut ternyata turut mengalami mutasi mengikuti perubahan genetik manusia. Sehingga seringkali keberadaan bakteri tersebut menimbulkan perbedaan peluang serta jenis penyakit yang sering diderita oleh ras manusia tertentu.

“Jika kita mengetahui bagaimana migrasi serta perkembangan mutasi genetik, maka kita akan lebih mudah mendeteksi penyakit apa saja yang kemungkinan besar akan menjangkiti diri kita,” imbuhnya.

Sementara itu pada pembicara kedua, Dr.phil., Dra. Toetik Koesbardiati selaku dosen antropologi yang melihat isu kesehatan dasar dari kacamata physical antropology. Dr Toetik menjelaskan bahwa antropologi fisik merupakan studi multidisipliner yang terdiri dari irisan ilmu kesehatan, sosio-kultural, serta bioscience.

“Kesehatan dasar salah satunya bisa dilihat dari perspektif perkembangan budaya dan kesehatan yang melihat sejarah iklim bumi periode holocene maupun perbandingan kehidupan manusia, sedenter atau nomaden,” jelasnya.

Dalam ilmu antropologi hal tersebut juga dapat dilihat dari temuan-temuan fosil, jejak migrasi manusia, maupun kondisi sosial budaya masyarakat. Pada kasus penyakit diare pada kawasan rural misalnya, ilmu antropologi bisa melihat bahwa ternyata sumber air yang tercemar serta kebiasaan adat dan sosial masyarakat mampu memengaruhi tingginya angka penderita penyakit tersebut.

Dari webinar yang digelar melalui via Zoom Meeting tersebut, kedua pembicara menggarisbawahi bahwa bahwa pemahaman yang lebih maju dan tepat terhadap isu kesehatan tidak dapat hanya dilihat dari segi klinis tapi juga membutuhkan kajian sejarah, sosial, budaya, bahkan hingga jejak mutasi genetik sebuah bakteri.(*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).