Solusi untuk Luka pada Kornea Berbahan PEO, Kolagen, dan Asam Hialuronat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi penyakit pada kornea. (Sumber: Alodokter)

Penyakit kornea adalah penyebab kebutaan terbesar kedua setelah katarak. Berdasarkan data WHO, diperkirakan bahwa 10 juta orang di dunia akan menderita defisiensi penglihatan terkait kornea. Ulkus kornea adalah kondisi patologis dimana bagian permukaan kornea hilang atau dihentikan karena kematian jaringan kornea. Kondisi ini disebabkan oleh bakteri, jamur atau virus di dalam kornea yang dapat menyebabkan infeksi atau peradangan.

Pengobatan ulkus kornea yang pertama adalah dengan pemberian antibiotik, antimikroba atau antijamur. Namun asupan obat ini tidak selalu dipatuhi oleh pasien yang dapat memperburuk kondisi. Jika pengobatan tidak berhasil dan menjadi jaringan parut, solusi terakhir adalah keratoplasti. Oleh karena itu, beberapa prosedur dapat dilakukan untuk mendukung perbaikan jaringan dan pengendalian peradangan merancang biomaterial yang dapat merekonstruksi kornea yang rusak. Salah satu solusinya adalah dengan transplantasi membrane amnion. Namun, seperti alograft lainnya, membran amnion dibatasi hanya pada jumlah donor dan selalu berisiko membawa penyakit menular. Jadi, perlu adanya penyelidikan biomaterial baru yang memiliki sifat biokompatibel dan dapat merangsang epitelisasi ulang dari jaringan kornea.

Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan penutup luka untuk menutupi kornea agar sembuh dengan efektif. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengamati penggunaan kolagen, asam hialuronat, dan PEO untuk pembalut luka. Untuk Untuk meningkatkan sifat membran, digunakanlah lapisan kitosan. Dalam studi ini, kami mengamati pengaruh pelapisan kitosan pada membran hasil proses elektrospinning berbasis kolagen, asam hialuronat, dan PEO dan dikombinasikan dengan glutaraldehyde sebagai crosslinker. Kolagen, asam hialuronat dan polietilen oksida (PEO) disiapkan dalam rasio 80: 5: 15. Semuanya dicampur dan dilarutkan dalam 10 mL metanol 80 % (v/v) untuk mendapatkan 10 wt% larutan campuran. Semua bahan tersebut dicampur dengan magnetic stirrer selama 3 jam dengan kecepatan 300 rpm dan pada suhu kamar.

Proses Electrospinning dilakukan dengan perangkat electrospinning (GenLab HK 7, Indonesia) dengan beda tegangan tinggi 8,5 kV, laju alir larutan 20 µL / jam, dan jarak antar kolektor dan jarum 17 cm pada suhu kamar dan kelembaban nisbi 50%. Proses ini dilakukan selama 5 jam. Kolektor yang digunakan adalah kolektor datar yang dilapisi dengan aluminium foil. Membran yang terbentuk kemudian diikat silang dengan glutaraldehid 25% (v/v) selama 24 jam di suhu ruang dengan metode uap untuk meningkatkan stabilitas membran dalam media cair. Proses ini dilakukan dengan meletakkan membran nanofiber pada jaring logam di atas larutan glutaraldehida pada gelas beaker tertutup. Warna membran berubah menjadi coklat kekuningan dan ukurannya menyusut. Lamanya proses pengikatan silang mempengaruhi transparansi optik pada membran.

Setelah proses crosslinking, proses pelapisan dilakukan dengan menyiapkan larutan kitosan di beberapa larutan konsentrasi (0,5, 1,0, 1,5, dan 2,0 w/v%). Kitosan dilarutkan dalam asam asetat 1 v / v% dengan menggunakan pengaduk magnet selama 4 jam dan diamkan semalaman agar gelembung keluar. Sebelum proses pelapisan, membran dibilas dengan air deionisasi. Proses pelapisan dilakukan selama 3 jam dengan perendaman metode pada suhu kamar. Proses pengeringan pelapisan dilakukan pada suhu kamar selama 2 jam. Ketebalan membran yang dilapisi adalah 0,35 ± 0,01 mm.

Hasil uji FTIR menunjukkan adanya ikatan silang.  Hasilnya menunjukkan adanya ikatan baru yang terbentuk di antara bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Lapisan kitosan bisa meningkatkan transparansi membran seperti yang ditunjukkan oleh hasil uji Spektrofotometri UV/Vis tetapi hasilnya tidak berbeda nyata (p-value> 0,05). Uji morfologi menggunakan SEM menunjukkan bahwa diameter pori membran menurun dengan adanya lapisan kitosan (p-value<0,05). Begitu pula dengan bertambahnya konsentrasi lapisan kitosan maka diameter pori-pori juga semakin berkurang.

Hasil uji sitotoksisitas menunjukkan bahwa membran dengan beberapa konsentrasi lapisan kitosan tidak bersifat toksik dengan viabilitas sel lebih dari 50% (nilai p <0,05). Lapisan kitosan juga memiliki efek antibakteri ditunjukkan oleh zona hambat yang cukup luas (p-value <0,05), terutama untuk Pseudomonas aeruginosa sebagai gram positif bakteri. Kesimpulannya, adanya pelapis kitosan dapat meningkatkan karakteristik membran hasil electrospinning dengan dilapisi kitosan untuk penutup luka pada kasus ulkus kornea.

Penulis: Alfian Pramudita Putra

Hasil penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah pada tautan berikut:

http://wjst.wu.ac.th/index.php/wjst/article/view/6319

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).