Pengaruh Sampel Hemolisis pada Pemeriksaan Hematologi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi pemeriksaan Hematologi. (Sumber: Alodokter)

Sampel hemolisis adalah masalah yang sering dijumpai dilaboratorium, karena memiliki efek potensial terhadap kualitas tes, waktu penyelesaian atau TAT (turn around time), dan membuat ketidaknyamanan pada pasien karena pengambilan sampel ulang. Hemolisis merupakan alasan yang paling umum untuk penolakan spesimen, terhitung kurang lebih 25% akan dilakukan pengambilan ulang. Meskipun perhatian terhadap variabel pra-analitik termasuk proses pengambilan darah (phlebotomy) yang hati-hati dan penanganan sampel yang tepat dapat meminimalkan hemolisis.

Hemolisis adalah pelepasan hemoglobin dan komponen intraseluler lainnya sebagai akibat dari kerusakan sel darah merah (Red Blood Cell). Hemolisis tampak bila jumlah hemoglobin bebas lebih besar dari 0.3g/L. Hemolisis dapat terjadi secara in vitro atau in vivo. Hemolisis in vivo terjadi jika laju kerusakan eritrosit meningkat, sehingga mengurangi rentang hidup eritrosit. Hemolisis in vivo dapat dibagi berdasarkan tempat dimana kerusakan sel darah merah terjadi. Hemolisis intravaskular terjadi ketika kerusakan eritrosit masih berada di dalam sistem vakular, sedangkan hemolisis ekstravaskular terjadi kerusakan eritrosit oleh sistem fagosit di hati, limpa dan sumsum tulang.

Hemolisis in vitro dapat terjadi akibat lisis sel darah merah pada berbagai tahap termasuk selama proses mengeluarkan darah, penanganan dan pemprosesan sampel, dan selama penyimpanan. Di antara sampel yang diserahkan ke laboratorium untuk pengujian yang dianggap tidak sesuai untuk analisis, hemolisis in vitro menyumbang sekitar 40% – 70% dari kasus. Hemolisis in vitro dapat menyebabkan bias positif atau bias negatif dalam analit. Mekanisme terjadinya bias pada hemolisis in vitro diantaranya proteolisis dari analit kedalam senyawa intraseluler, pelepasan zat tromboplastik, pengenceran analit karena pelepasan konten sitoplasma, pelepasan analit itu sendiri dari eritrosit, dan gangguan analitis akibat hemoglobin dan zat intraseluler lainnya.

Prevalensi hemolisis in vitro dapat sangat bervariasi tergantung pada populasi pasien yang diuji, apakah phlebotomists terlatih atau individu yang tidak berpengalaman dalam pengumpulan sampel, dan apakah sampel akan langsung diproses atau dikirim  jarak jauh untuk pemrosesan, dengan penundaan waktu yang signifikan antara pengambilan dan pemprosesan. Prevalensi hemolisis in vitro pada pasien rawat jalan telah ditemukan sekitar 90 kali lebih sedikit jika dibandingkan dengan sampel dikumpulkan dari pasien di Instalasi Rawat Darurat.

Penyebab utama hemolisis in vitro diantaranya : kondisi pasien (Patient-dependent), kondisi operator (Operator-dependent), kondisi perangkat (Device-dependent), penanganan spesimen (Handling of the specimen), pengiriman Spesimen, pemrosesan spesimen, penyimpanan spesimen.

Dejonge pada penelitiannnya menyebutkan bahwa interpretasi CBC menjadi terganggu pada sampel dengan derajat hemolisis yang berat. Secara keseluruhan pengaruh hemolisis pada periksaan darah lengkap (complete blood count) dapat disimpulkan. Nilai sel darah putih (White Blood Cell)  tidak terpengaruh, Sel darah merah (Red Blood Cell) dapat menjadi rendah palsu karena lisisnya sel darah merah dan atau sel darah merah yang berbentuk fragmen tidak terhitung sebagai Sel darah merah. Perhitungan Hb pada pasien yang hemolisis biasanya akurat karena Sel darah merah sepenuhnya lisis. Kadar hematokrit menjadi rendah palsu karena kalkulasi yang invalid dari MCV dan Sel darah merah yang rendah palsu.

Nilai MCV (Mean Corpuscular Volume) bisa menjadi invalid yaitu rendah palsu atau tinggi palsu tergantung dari tingkat hemolisisnya. Nilai MCH menjadi invalid karena nilai sel darah merah yang rendah palsu dan nilai MCHC menjadi invalid karena nilai hematokrit yang rendah palsu. RDW (Red Cell Distribution Widht) tinggi palsu karena fragmen sel darah merah meningkatka CV (Corpuscular Volume) di histogram. Nilai trombosit atau PLT (Platelet) dapat menjadi tinggi palsu karena fragmen eritrosit terbaca atau terhitung sebagai trombosit.

Pada pemeriksaan LED dengan metode westergreen, sering didapatkan sampel hemolisis sulit dinilai karena batasan nya yang tidak jelas. Laga et al dalam studi mereka menjelaskan temuan mereka bahwa PPT dan APTT antara sampel darah hemolisis dan nonhemolyzed tidak berbeda secara signifikan. Arora et al berpendapat bahwa sampel darah dapat diproses untuk tes koagulasi karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara hemolisis dan sampel darah nonhemolyzed. Pedoman CLSI untuk pengujian PPT dan APTT menyatakan: “sampel dengan terlihat hemolisis tidak boleh digunakan karena kemungkinan mengaktivkan faktor pembekuan dan interferensi dengan pengukuran titik akhir.

Penulis: Yetti Hernaningsih

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://we.tl/t-zob4XOQR1U?src=dnl

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).