Deteksi Covid-19 Melalui Anjing, Peluang untuk Indonesia?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh DW

Rekor data Kementerian Kesehatan per 29 November 2020, menjadi rekor tertinggi sejak kasus pertama terkonfirmasi pada Maret silam. Penambahan pasien terkonfirmasi positif harian bertambah sebanyak 6.267 kasus. Untuk sebaran wilayah di 34 provinsi dan 504 kabupaten/kota. Angka tersebut masih mungkin terus naik mengingat pada bulan Desember akan dilaksankan Pemilu serentak dan libur akhir tahun. Alih-alih turun, kasus positif dan angka kematian cenderung naik meskipun pasien yang dinyatakan sembuh juga bertambah. Bahkan, pada 2 November 2020 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pun mengakui angka kematian di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia. Jokowi menuturkan rata-rata kematian dunia akibat Covid-19 saat ini mencapai 2,5 persen. Angka tersebut berada di bawah angka kematian akibat covid-19 di Indonesia (CNN Indonesia,2020)

Dilaih hal, tak hanya masyarakat umum, sejumlah tenaga kesehatan juga turut menjadi korban dari Covid-19. Amnesty International Indonesia mencatat ada 181 tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal dunia (Griphype, 2020) dan per 13 September 2020 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri telah mencatat sebanyak 115 dokter meninggal karena Covid-19. IDI juga menambahkan, dengan meninggalnya 115 dokter hampir 300.000 penduduk Indonesia kehilangan akses dokter. IDI menduga penyebab banyaknya kematian tenaga kesehatan dikarenakan minimnya distribusi APD, kurangnya tenaga medis dan menyebabkan kelelahan akibat jumlah pasien COVID-19 yang terus bertambah, jam kerja yang panjang, tekanan psikologis, serta skrining pasien di fasilitas kesehatan yang kurang. 

Upaya pengembangan skrining Covid-19 terus ditingkatkan. Upaya tersebut dibedakan menjadi 2 cara berdasarkan protokol penanganan Covid-19 yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan (Prymaryhospital, 2020). Cara pertama adalah rapid test dan cara kedua adalah lewat swab test menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Namun, Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) bersama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (AIMI)  mengutarakan usulan agar pemerintah menggunakan metode PCR dalam pemeriksaan virus Covid-19 karena dinilai lebih akurat dibandingkan cara lainnya. Presiden Jokowi juga pernah menyatakan untuk meningkatkan jumlah tes PCR hingga diharapkan dapat mencapai 30.000 sampel per hari khususnya di delapan provinsi yang menjadi prioritas. Ekspekatsi yang tinggi sayangnya tidak sejalan dengan realita di lapangan, angka realisasi ini masih jauh dari standar minimum yang ditetapkan WHO. Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono menilai dengan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 260 juta orang, seharusnya total tes harian yang harus dilakukan berjumlah 50.000, minimnya tes PCR yang dilakukan pemerintah disebabkan oleh keterbatasan fasilitas laboratorium standar Biosafety Level 2 serta alat  yang mencapai ratusan juta untuk menguji hasil tes.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menyatakan kendala yang dihadapi dalam melakukan tes PCR ada pada ketersediaan reagen dan juga jumlah sumber daya manusia di laboratorium yang minim (BBC Indonesia, 2020). Selain itu, kesadaran masyarakat untuk melakukan tes PCR mandiri juga sangat minim. Wakil Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Surabaya Arief Bachtiar. mengatakan inisiatif warga untuk melakukan tes PCR mandiri sangat kurang diduga karena biaya yang dikeluarkan relatif mahal bagi sebagian besar orang (Tirto,2020).  

Baru-baru ini, sebuah jurnal Scent dog identification of samples from COVID-19 patients – a pilot study (2020) yang dipublikasikan pada laman BMC Infectious Disease oleh peneliti Jerman, melaporkan anjing dapat mendeteksi virus corona dengan tingkat kesuksesan 94%. Mereka melatih delapan anjing hanya selama lima hari untuk mendeteksi virus Covid-19 dan mampu mendeteksi dalam selang waktu beberapa menit saja. Namun sayangnya untuk bisa mendeteksi indra penciuman ini, mereka harus mengendus air liur lebih dari 1.000 orang yang sehat dan terinfeksi (National Geographic, 2020).

Sebagai mahasiswa kedokteran hewan , saya sangat tertarik dengan pernyataan dan penelitian tersebut. Karena sebagaimana yang kita ketahui, kemapuan anjing terutama anjing-anjing pelacak seperti Jerman Shepherd, Belgian Malinois, Doberman Pincher dan lainnya sangat memebantu. Anjing sudah lama digunakan sebagai alat deteksi seperti narkoba dan sebagainya. Anjing sebagai detektor patogen  digunakan karena memiliki sensitifitas yang tinggi. Main Olfactory System (MOS) pada anjing mampu mendeteksi tidak saja dalam ukuran part per million (ppm) bahkan bisa sampai  part per billion (ppb). 

Di sisi lain, ada hal yang perlu kita waspadai. Konsep One Health yang kembali digaung-gaungkan menjadi pertimbangan penggunaan anjing dalam mendeteksi Covid-19. Apakah potensi anjing dalam mendeteksi Covid-19 melalui indra penciuman dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk mempercepat pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19? Atau penggunaan anjing dalam mendeteksi Covid-19 malah meningkatkatkan kasus penyakit zoonosis? Tantangan bagi para peneliti milenial!

Penulis: Muhammad Suryadiningrat (Mahasiswa FKH PSDKU UNAIR di Banyuwangi)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).