Covid-19, Ethiopia dan Diplomasi Kesehatannya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi warga Ethiopia dalam pandemi Covid-19. (Sumber: Media Indonesia)

Aba Tilahun Woldemichael (109 tahun) membuktikan keberhasilan sistem kesehatan Ethiopia dalam menghadapi Covid. Kondisi Aba sempat memburuk hingga harus mendapat bantuan alat pernafasan dan menjalani karantina selama 14 hari di Rumah Sakit Yeka Kotebe. Aba yang termasuk golongan rentan, ini sembuh. Keberhasilan ini didukung dengan keberhasilan sistem kesehatan di Ethiopia dalam mengatasi segala hambatan yang ada. Rasio kematian penderita Covid cukup rendah yaitu 1,7 persen dibanding dengan rasio kematian secara global sebesar 4,9 persen.

Keberhasilan negara ini cukup mengherankan, mengingat Ethiopia bukanlah negara yang amat sejahtera. Tidak seperti negara tetangganya Rwanda, Uganda dan Mauritius, negara ini juga tidak memberlakukan lockdown. Kemampuan ekonominya pun belum sebanding dengan negara tetangganya seperti Angola dan Nigeria yang telah lebih dulu mampu menggenjot ekspor minyaknya. Di tengah carut marut epidemi, permasalahan keamanan sosial Ethiopia bertambah dengan dipulangkannya pekerja migran asal negaranya oleh Saudi Arabia diikuti negara-negara tetangganya. Pihak-pihak yang selama ini diharapkan memberikan bantuan pun sibuk dengan urusan negaranya masing-masing. Di tengah segala hambatan tersebut, artikel kali ini membahas bagaimana suatu negara di tanduk Afrika mampu menemukan strategi yang setidaknya bisa mengurangi krisis yang lebih parah.

Strategi Ethiopia menghadapi Covid secara internal

Dalam lingkup domestik, Ethiopia memiliki empat strategi untuk bertanah menghadapi krisis. Empat strategi tersebut mencakup kewaspadaan dini, pembatasan sosial, darurat bencana, dan pertahanan ekonomi. Pertama, negara ini telah meningkatkan kewaspadaan sejak dini setelah mendapat informasi adanya wabah di Wuhan sejak bulan Januari.  Kedua, setelah kasus positif ditemukan pada bulan Maret, Ethiopia pun segera menutup diri dari potensi penularan. Isolasi tersebut dilakukan dengan memperketat bandara internasional, perbatasan darat, menutup sekolah, mencegah kerumunan, disinfektasi fasilitas umum, hingga mengurangai kepadatan penjara. Petugas kesehatan segera diterjunkan untuk melaksanakan rapid test.

Ketiga, menerapkan darurat bencana. Termasuk dalam kategori ini antara lain: menetapkan sanksi bagi pihak yang melanggar regulasi pemerintah tentang prosedur keselamatan di era Covid, memundurkan pemilu beserta konsekuensi memperpanjang masa jabatan perdana menteri; mengubah fungsi gedung kampus dsb untuk menyiapkan tempat karantina dan pengobatan; memfasilitasi tenaga medis dengan asuransi jiwa; serta menyiapkan dana darurat sebesar 1,64 milyar USD. Dana darurat tersebut disiapkan untuk distribusi makanan, kesehatan bila skenario terburuk terjadi, tempat penampungan sementara, warga yang rentan, hingga pekerja migran yang dideportasi. Dana tersebut dikelola lewat Woreda (semacam kabupaten) dan kota.

Diplomasi Kesehatan Ethiopia

Diplomasi kesehatan berpeluang mendorong kerjasama fungsional untuk menghadirkan kebutuhan dasar masyarakat dalam bertahan hidup. Keberhasilan diplomasi tersebut dapat mendorong revolusi yang meskipun sunyi, akan tetapi sangat bermanfaat. Untuk keperluan tersebut, Menteri Luar Negeri Ethiopia Gedu Andargachew berkomunikasi via telepon dengan  Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi. Dalam komunikasi tersebut terjadi pertukaran. Ethiopia mendapat tiga bentuk dukungan Tiongkok.

Pertama, dukungan bagi Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus. Dr Tedros berasal dari Ethiopia, kebetulan kebijakannya tidak disukai oleh Washington. Kedua, Rumah Sakit Tirunesh Beijing. Ketiga,  tim medis yang terdiri dari 12 pakar  dari Rumah Sakit Universitas Sichuan, Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit Propinsi Sichuan, Rumah Sakit Rakyat Propinsi Sichuan, Rumah Sakit yang berafiliasi dengan Universitas Medis Barat Daya, dan Rumah Sakit yang berafiliasi dengan Universitas Chengdu dengan kepakaran Obat Tradisional Cina.

Dalam lingkup kawasan, Ethiopia berpartisipasi aktif melalui Africa Centres for Disease Control and Prevention (Africa CDC).  Lembaga kerjasama fungsional bidang kesehatan di kawasan ini telah dilengkapi jaringan laboratorium dan pengawasan. Pada bulan Juni, anggota Afrika CDC sepakat mengembangkan kerjasama untuk mempercepat test, pelacakan dan perawatan pasien Covid.  Africa CDC mendapatkan dukungan dari WHO, kunjungan tim medis dari Tiongkok, dan peralatan tes dari Jerman.

Berkaitan dengan deportasi pekerja migran dari kawasan timur tengah, Ethiopia mengirim delegasi ke lembaga multilateral seperti Organisasi Migrasi Internasional (IOM) dan PBB. Lembaga internasional tersebut membantu Ethiopia lewat diplomasi dengan mendorong negara-negara terkait supaya bersedia berkoordinasi sehingga deportasinya lebih manusiawi. Sebelumnya, sebagian para pekerja migran tersebut dipulangkan dengan pesawat angkut ternak oleh Saudi Arabia, sebagian didesak ke Yemen dan kemudian diusir oleh pasukan Houthi. Di tempat karantina transit, para migran ini ditempatkan dalam kondisi yang rentan penularan. Selain itu, IOM turut membantu Ethiopia memfasilitasi deportasi yang lebih humanis.

Penulis: Irfa Puspitasari

Informasi detail dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/22099/12632

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).