Reorientasi Praktik Demokrasi Kita

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Rumah Baca ID

Demonstrasi terhadap UU Cipta Kerja kemarin yang berlangsung dalam skala besar dan berhari-hari telah menimbulkan suasana ketegangan yang cukup serius. Banyak orang mungkin menganggap bahwa demonstrasi yang berlangsung berhari-hari seperti itu adalah sesuatu yang wajar karena kita hidup dalam negara demokrasi. Namun, pemahaman seperti itu keliru karena demokrasipada dasarnya tidak pernah dimaksudkan untuk menghasilkan praktik demo dalam waktu yang lama untuk kemudian baru berhenti. Memang dirasa bahwa dalam UU Cipta Kerja jarak antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah terlalu lebar, dan komunikasi publik pemerintah terkesan tidak serius untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. Baik itu kelompok buruh yang merasa dirugikan secara langsung oleh UU Cipta Kerja atau pun kelompok masyarakat umum yang merasa UU Cipta Kerja mengancam kelestarian lingkungan.

Meminimalkan ketegangan

Melalui peristiwa Reformasi 1998 negeri ini telah mengambil kembali jalan demokrasi. Ada harapan dan keyakinan kuat ketika memulai kembali demokrasi itu bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita akan lebih kondusif dan aman. Akan tetapi, kenyataan yang kita lihat hari-hari ini berbeda dengan harapan dan keyakinan awal itu. Apabila waktu Orde Baru masyarakat sulit untuk melakukan demonstrasi, yang terjadi di era reformasi sebaliknya yaitu praktik demokrasi yang kebablasan. Atas nama kebebasan, demonstrasi berlangsung lama untuk kemudian baru berhenti. Akibatnya, kita dibayangi oleh suasana tegang dan tidak kondusif dalam menjalankan kehidupan bernegara kita.

Demokrasi sejatinya adalah fasilitas untuk meminimalkan segala kondisi yang berpotensi untuk menciptakan suasana tegang yang berkelanjutan. Demokrasi sama sekali tidak menilai remeh apalagi melarang praktik demonstrasi.Akan tetapi, praktik demonstrasi menjadi tidak elegan dalam iklim demokrasi ketika itu mengambil waktu yang lama sehingga menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan dan apalagi jika disertai dengan merusak fasilitas publik.

Demokrasi telah menyediakan mekanisme musyawarah untuk mempertemukan aspirasi masyarakat yang berdemo dengan maksud pemerintah. Sayangnya, musyawarah itu jarang dipakai secara cepat untuk meredam suasana yang tegang. Seharusnya, ketika demonstrasi untuk suatu kebijakan pertama kali telah dilakukan, maka musyawarah untuk membahas aspirasi-aspirasi dalam aksi demonstrasi segera dilakukan.

Dalam musyawarah ini perlu kebesaran hati pemerintah untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat dan kemudian segera melakukan komunikasi publik bahwa aspirasi-aspirasi masyarakat akan dipertimbangkan.  Tujuannya adalah agar aksi demonstrasi pada hari-hari berikutnya atas kebijakan tersebut tidak kembali terjadi. Di sini peran pemerintah sangat penting untuk mengambil inisiatif musyawarah secepat mungkin. Sebagai negara demokrasi kita memang memiliki kewajiban untuk mengutamakan musyawarah untuk kemudian mencapai mufakat dalam mengurus persoalan-persoalan yang menyangkut kebaikan bersama.

Responsivitas pemerintah

Terdapat kejanggalan dalam komunikasi publik pemerintah kemarin dalam merespons aksi demonstrasi UU Cipta Kerja. Pemerintah berulang-ulang mengatakan bahwa Indonesia negara demokrasi dan demonstrasi adalah hak dan kebebasan masyarakat. Karena itu, silahkan masyarakat kalau ingin terus menyampaikan keberatannya dalam aksi demonstrasi. Terjadi paradoks di sini. Pada satu sisi, sebagai negara bersistem demokrasi kita meyakini bahwa di dalamnya sistem itu menyediakan fasilitas untuk meminimalkan segala kondisi yang berpotensi untuk menciptakan suasana tegang yang berkelanjutan. Yaitu musyawarah untuk mufakat. Pada sisi lain, pemerintah atas nama demokrasi membiarkan aksi demo terus berlangung yang menimbulkan ketegangan berkelanjutan.

Belajar dari aksi demonstrasi UU Cipta Kerja kemarin, kita mesti meluruskan kembali orintasi praktik berdemokrasi negeri ini. Satu hal yang paling penting untuk disadari adalah bahwa hak dan kebebasan dalam iklim demokrasi tidak pernah dimaksudkan untuk menghasilkan demo yang berlangsung lama yang berakibat kehidupan berbangsa dan bernegara terus dibayangi oleh suasana tegang.

Sebab, jika demokrasi dimaknai sebagai adanya hak dan kebebasan warga negara untuk melakukan demonstrasidalam waktu yang lama, kita secara sengaja membiarkan negeri ini untuk berlarut dalam suasana tegang ketika terdapat kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan kehendak masyarakat.Negeri ini menghabiskan tenaganya untuk mengurus pertentangan antara aspirasi masyarakat dan maksud pemerintah, yang sebenarnya apabila pemerintah mengambil inisiatif cepat untuk melakukan akomodasi yakni musyawarah untuk mufakat, pertentangan itu dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Negeri ini harus meluruskan kembali harapan dan keyakinan awalnya bahwa dengan mengambil jalan demokrasi suasana kehidupan bernegara dan berbangsa menjadi lebih kondusif, dan suasana itu mendukung upaya bangsa ini untuk lebih maju dan makmur.

Penulis: Ransis Putra Gaut (Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).