Herlambang P. Wiratraman: Hak Asasi Manusia Berparadigma Pasar adalah Politik Hukum dari UU Cipta Kerja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Pakar HAM UNAIR dan Peneliti Human Rights Law Studies (HRLS) Herlambang P. Wiratraman. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS –  Pakar HAM UNAIR Herlambang P. Wiratraman diundang sebagai narasumber dalam webinar yang diadakan oleh Human Rights Law Studies (HRLS) pada Sabtu sore (21/11/2020). Webinar ini mengupas tema “Masyarakat Adat dan Lingkungan Hidup dalam Himpitan UU Cipta Kerja”. Materi yang dibahas oleh Herlambang soal UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) adalah sisi politik hukumnya.

Herlambang menilai bahwa Indonesia telah dihinggapi sesuatu yang dinamakan sebagai ‘legalisme otokratis’. Pada dasarnya, legalisme otokratis merupakan suatu keadaan dimana rezim pemerintahan menunjukkan fitur demokratis dan otoriter secara bersamaan. Salah satu elemen kunci yang menandakan bahwa terdapat rezim legalisme otokratis adalah disusunnya undang-undang yang dibungkus oleh klausula-klausula yang memberdayakan kesejahteraan masyarakat, namun terdapat aspek-aspek otokratis yang terkubur disitu.

“Dan itulah yang sedang terjadi pada UU Ciptaker. Narasi-narasi bahwa ini untuk mendongkrak lapangan pekerjaan seringkali inkonsisten dengan ditemukannya berbagai pelemahan hak-hak fundamental yang sebelumnya sudah diatur oleh hukum. Entah itu dari hak lingkungan hidup maupun hak pekerja,” tutur alumni Leiden University itu.

Herlambang menjelaskan bahwa rezim Jokowi menggunakan logika trickle down economics dengan memprioritaskan investasi daripada apapun dengan pemikiran bahwa hal tersebut dapat memberi kesempatan besar peluang dayaserap tenaga kerja. Ia mengomentari bahwa narasi seperti ini tidak jauh beda dengan arah gerak rezim Soeharto yang memperlakukan HAM sebagai sub-bagian dari pembangunisme saja.

“Inilah yang kita sebut sebagai market friendly human rights paradigm atau hak asasi manusia berparadigma pasar. Narasi yang berulang di Indonesia ini pada dasarnya memprioritaskan HAM apabila tidak bertentangan dengan kepentingan investasi. Jadi HAM ini akan dinomorduakan apabila bertentangan dengan pasar,” ujar peneliti HRLS itu.

Herlambang menuturkan bahwa pembatasan dan pembonsaian HAM dalam politik hukum Indonesia, terutama dalam klaster lingkungan UU Cipta Kerja akan mengikis keadilan eko-sosial. Eksploitasi lingkungan di masa krisis iklim seperti ini tentu akan semakin mempercepat climate change catasthrophe yang sudah merupakan kondisi darurat.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).